Bondowoso (beritajatim.com) – Inilah komoditas kopi andalah PT Perkebunan Nusantara 12, sejak tahun 2007: kopi luwak. Kopi ini diakui dunia, dan tercatat sebagai kopi dengan harga mahal dibandingkan kopi jenis lain di Indonesia.
Harga green bean kopi luwak Rp 1,3 juta per kilogram, Sementara untuk kopi yang sudah disangrai mencapai Rp 1,9 juta per kilogram, dan kopi dalam bentuk bubuk dijual dengan harga Rp 2 juta per kilogram.
Kopi ini masuk dalam jenis kopi khusus (specialty coffee). Fermentasi biji kopi terbaik terjadi di dalam perut hewan bernama latin paradoxurus Hermaphroditus ini. “Ada enzim dalam perut luwak, sehingga kotorannya tak mengandung bakteri E. Coli yang bisa memicu diare. Luwak juga memilih kopi yang benar-benar masak,” kata Setyo Wuryanto, Manajer Unit Usaha Industri Hilir PTPN 12, di sela-sela pelaksanaan edukasi media (24/6).
Pasar kopi luwak terus tumbuh, dan ini membetot perhatian manajemen PTPN 12. Persoalannya, sulit memproduksi kopi ini dalam jumlah besar, jika hanya mengandalkan cara alamiah: mengumpulkan biji-biji kopi dalam kotoran luwak yang tersebar di area kebun.
“Dari sisi higientitas, ini jelas tak higienis. Kedua, bagaimana kita tahu kalau ini benar-benar kotoran luwak, dan bukan kotoran hewan lainnya,” kata Ardi Iriantono, Manajer Kebun Kalisat-Jampit.
Manajemen PTPN 12 memutuskan untuk mengandangkan 600 ekor luwak di empat kebun, yakni Kalisat Jampit, Blawan, Pancor, dan Kalimas. Semua kebun itu memproduksi kopi Arabika. Dan, Jumat (24/6/2011) lalu, adalah kunjungan saya kedua kalinya ke rumah ‘herr musang’, tempat dikandangkannya musang-musang itu di Kebun Kalisat Jampit Afdeling Kampung Baru setelah dua tahun silam.
Dua tahun silam, bulan Oktober, saya datang pada hari Jumat pula ke rumah ‘herr musang’. Herr adalah bahasa Jerman untuk ‘tuan’ atau ‘pak’. Saya mengenal sebutan ini dari seorang pensiunan direktur utama sebuah perusahaan perkebunan.
Sebagaimana dua tahun silam, saya bertemu Hadi Santoso, salah satu pekerja di tempat itu. “Apa kabar, Pak,” saya menyapanya.
Dibandingkan dua tahun silam, tak banyak yang berubah dari kandang luwak-luwak itu. Di sini 120 ekor luwak dipelihara. Kini di setiap kandang ada nama masing-masing musang dan simbol jenis kelamin mereka. Saya masih ingat, dulu Sebagian nama luwak terinspirasi nama tokoh utama sinetron.
Bahkan, ada musang bernama Rossi saat itu, yang namanya terinspirasi nama pembalap Grand Prix 500 asal Italia, Valentino Rossi. “Dia sering mengejar-kejar juga,” kata Hadi kala itu, menyebut kegesitan Rossi mengingatkan pada kecepatan Valentino Rossi di atas sirkuit balap.
Saya lupa bertanya kepada Hadi apakah Rossi masih ada. Memasuki usia 4-5 tahun, musang biasanya mudah sakit, seperti disentri. Sakit ini bisa jadi dipicu stres, sehingga musang yang sakit langsung dilepas ke alam bebas sebelum mati di kandang.
Hadi membuka kandang nomor 8, dan mengeluarkan seekor luwak jantan bernama Raden. Saya tak perlu bertanya, saya duga namanya terinspirasi salah satu tokoh sinetron yang terkenal itu. Si Raden sudah mulai masuk kandang sejak 2008 setelah dibeli seharga Rp 100 ribu dari warga sekitar.
“Rata-rata luwak di sini memang dibeli dari warga. Harganya sekitar Rp 150 ribu per ekor. Selama empat tahun mereka masih produktif. Selain dikasih makan pisang dan pepaya, juga dikasih minum konsentrat susu,” kata Ardi Iriantono.
Tak mudah menernakkan sendiri luwak. Pasalnya, bayi luwak sering dimakan pejantan sendiri, begitu lahir. Luwak bisa ‘memproduksi’ kopi berkualitas bagus pada usia 2-5 tahun. Produksi kopi dari perut luwak jantan lebih banyak daripada produksi dari perut luwak betina. Namun kualitasnya sama. Jika musim kopi lewat, luwak-luwak itu diberi makan apa saja: bisa stroberi, bisa nasi.
saat musim panen kopi pada Juni sampai Agustus, setiap pagi biji-biji kopi yang belum dikupas diletakkan di atas wadah tempeh dan ditempatkan di tiap kandang luwak. Keesokan paginya, pekerja kebun tinggal mengambil kotoran luwak yang berisi biji-biji kopi yang sudah terkelupas, dan teronggok di atas tempeh tersebut.
Seekor herr musang bisa berak empat ons biji kopi. Dari hasil penangkaran 2-3 minggu, maksimal setiap ekor luwak bisa makan 2,5 kilogram gelondong kopi. Jadi hasil kopi luwak basah 1 kilogram 2,5 ons. Tapi itu juga tergantung dari nafsu makan sang luwak.
Rasa sepat dan asam kopi luwak lebih menonjol dibandingkan kopi jenis biasa, yang dipanen dan dikupas dengan tenaga manusia atau mesin. Kualitas kopinya pun bagus, karena memiliki kemasakan optimum.
Kini, si Raden berusaha menyambar pisang yang dilambai-lambaikan Hadi. Tak menanti lama, aksi si Raden menjadi sasaran bidikan para wartawan yang berkunjung ke kandang itu.
Saya teringat cerita, tentang salah satu wartawan asing yang menanyakan eksploitasi musang untuk kepentingan bisnis itu. Petinggi PTPN 12 sempat deg-degan mendengar pertanyaan itu. Namun, ternyata sang wartawan tak ‘menyerang’ PTPN 12. Luwak memang telah masuk dalam rantai ekonomi manusia. Namun justru dengan masuknya mereka dalam rantai kapitalisme ini, ada upaya melakukan konservasi terhadap luwak.
Tentu tak ada yang ingin kehilangan jutaan rupiah dari perut Pak Raden, jika Pak Raden dan kawan-kawannya langka dan perlahan musnah, bukan? [wir]
sumber : beritajatim.com/hil-n12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar