Rabu, 25 Januari 2012

KOPI di INDONESIA

Kopi adalah komoditas agroindustri, yang hanya bisa dikonsumsi oleh manusia setelah melalui proses pengolahan. Bahkan para petani kopi pun harus memproses buah kopi segar menjadi biji kering terlebih dahulu, sebelum bisa menjual hasil panen mereka. Buah kopi tidak lazim dibawa ke pasar atau dijajakan di kakilima dalam bentuk segar, sebagaimana jeruk atau mangga. Kopi juga merupakan komoditas dengan manfaat tunggal. Untuk minuman. Sekarang memang ada pula permen kopi, tetapi ini hanyalah merupakan pengembangan dari bentuk mengkonsumsi kopi sebagai minuman. Yang pantas disayangkan adalah, kalau dalam agroindustri teh, Indonesia sudah mampu membendung "serbuan" Coca-Cola dengan berbagai minuman teh dalam botol maupun kemasan karton, maka kopi masih tertinggal jauh. Selain permen, belum ada inovasi pengembangan agroindustri kopi dalam bentuk produk yang siap minum. Ini semua barangkali disebabkan oleh tradisi masyarakat kita selama ini yang sudah terbiasa minum kopi dalam kondisi panas.
Karena hanya dipasarkan dalam bentuk "kopi bubuk" maka ada sebuah ironi yang terjadi di Indonesia. Negeri ini adalah salah satu produsen kopi terbesar di dunia. Selain Brasil dan negara-negara Amerika serta Afrika tropis lainnya. Tetapi ironisnya, masyarakat Indonesia bukan termasuk peminum kopi yang baik. Bahkan tingkat konsumsi kopi masyarakat Jepang, yang sebelumnya adalah peminum teh fanatik, sekarang ini justru lebih tinggi daripada tingkat konsumsi kopi masyarakat Indonesia. Seandainya diadakan riset, maka rakyat Indonesia barangkali lebih banyak minum coca-cola dibanding kopi. Ini semua disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, kopi yang dikonsumsi masyarakat Indonesia, selama ini adalah kopi dengan kualitas yang sangat jelek. Sebab kopi dengan kualitas baik hanya diperdagangkan untuk tujuan ekspor. Hingga masyarakat menengah dan bawah, boleh dikatakan sama sekali belum pernah tahu, bagaimana rasa kopi yang enak. Kedua, di pasaran memang tidak ada inovasi cara minum kopi, selain  dalam bentuk seduhan panas. Ketiga, selama ini ada anggapan yang keliru pada masyarakat, bahwa dampak minum kopi bisa sangat buruk bagi kesehatan. Seandainya tiga sebab ini bisa diatasi, maka tingkat konsumsi kopi masyarakat Indonesia pasti akan bisa dinaikkan.

Sekarang inilah sebenarnya saat yang paling tepat untuk mengatasi tiga kendala yang menyebabkan tingkat konsumsi kopi kita demikian rendahnya. Pertama, saat ini harga kopi di pasar internasional sedang jatuh.  Dulu, kalau suplai biji kopi kering di pasar dunia melimpah karena panen baik, Brasil sebagai penghasil kopi utama di dunia sampai membuang stok mereka ke laut guna menstabilkan harga. Tahun lalu, ketika delegasi Association of Coffee Producing Countries (ACPC) dan International Coffee Organisation (ICO) datang ke Indonesia untuk bersama-sama melakukan retensi kopi, Indonesia menolak. Tak berapa lama kemudian, Vietnam yang belum menjadi anggota ACPC dan ICO (hingga tidak terkena ketentuan kuota) melepas stok biji kopi mereka. Hingga harga biji kopi di pasar dunia pun langsung ambruk. Akhir tahun 2001, rombongan Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) berkunjung ke Vietnam. Maksudnya untuk melihat secara langsung bagaimana negeri yang  pada tahun 70an hancur karena perang ini, tiba-tiba bisa membuat "kekacauan" di pasar kopi dunia. Kunjungan demikian bisa hanya menjadi wisata gratis. Sebab kemajuan Vietnam dalam budidaya kopi dan juga di banyak bidang lain, hanyalah karena faktor etos kerja mereka yang luar biasa.

Pada saat kondisi harga kopi sedang terpuruk demikian, mestinya P.T. Perkebunan Nusantara (PTPN) dan perkebunan kopi swasta besar lainnya, melakukan kampanye minum kopi nasional. Perusahaan minuman teh botol seperti Sosro sebaiknya juga melakukan berbagai upaya agar kopi bisa disajikan sebagai minuman dalam botol maupun kemasan karton. Dan Balai Penelitian Kopi di Jember, haruslah agak kerja keras bukan hanya sekadar menciptakan klon-klon unggul yang menghasilkan biji kopi harum (kadar minyak asirinya tinggi) tetapi caffeeinnya rendah, tetapi juga melakukan uji adaptasi lapangan. Selama ini biji kopi  dengan caffein rendah tetapi beraroma kuat, hanya dihasilkan oleh kopi  Arabika. Sementara kopi Robusta yang paling banyak dibudidayakan menghasilkan biji kopi yang tingkat keharumannya rendah tetapi caffeeinnya tinggi. Ketika rombongan AEKI datang ke Vietnam baru-baru ini, mereka hanya bisa terkaget-kaget, karena melihat bahwa kopi Arabika di negeri tetangga tersebut bisa ditanam dengan hasil baik pada ketinggian 300 meter di atas permukaan laut (m. dpl). Sementara di negeri kita Arabika hanya bisa berproduksi baik pada ketinggian di atas 1.000 m. dpl. Upaya yang dilakukan oleh para peneliti kita, baru sebatas pada penciptaan klon-klon unggul. Sementara di Vietnam, yang lebih banyak dilakukan adalah upaya adaptasi lapangan.
Cara yang dilakukan oleh para petani Vietnam adalah dengan menanam kopi Arabika pada ketinggian 300 m. dpl. Hasilnya, pasti jelek. Tanaman akan terserang oleh penyakit karat daun (Hemelia vastatrix = HV). Penyakit inilah yang pernah menghancurkan kebun-kebun Java Arabica kita pada tahun 1876. Tetapi di antara sekian banyak individu tanaman kopi tersebut, pasti ada satu dua yang tahan terhadap HV. Buah dari individu tanaman yang kebal HV ini ditanam lagi di lokasi yang sama. Selanjutnya diseleksi lagi. Juga diseleksi individu-individu yang produktifitasnya tinggi, kadar caffeeinnya rendah tetapi aromanya kuat. Setelah sampai pada generasi ke VIII, sifat-sifat unggul tadi akan menetap. Hingga terciptalah varietas Arabika yang bisa dibudidayakan dengan baik pada ketinggian 300 m. dpl. Kalau tanaman kopi dengan bibit asal biji baru akan berbuah pada umur 3 sd. 4 tahun, maka untuk mendapatkan generasi ke VIII, diperlukan waktu minimal 24 sd. 32 tahun. Upaya ini pulalah yang pernah dilakukan oleh seorang pastor kulit putih di pegunungan Jaya Wijaya, Papua.

Pastor tersebut nekad menanam Arabika pada ketinggian 4.000 m. dpl. Dari ribuan biji yang disemainya hanya tumbuh empat  individu tanaman. Pada ketinggian ekstreem tersebut, tanaman kopi hanya tumbuh setinggi 30 cm, dan salah satu tanaman mampu berbuah beberapa butir. Buah ini ditanam lagi dan bisa tumbuh. Demikian seterusnya hingga pada generasi VIII, pastor tadi dapat memperoleh individu tanaman kopi Arabika yang toleran terhadap suhu ekstreem pada ketinggian 4.000 m. dpl. Sayang sekali bahwa upaya demikian justru dilakukan oleh seorang pastor pada lahan dengan ketinggian 4.000 m. dpl. Sementara para peneliti kita lebih banyak sibuk menciptakan hibrida-hibrida baru. Hingga ketika petani Vietnam bisa mengembangkan Robusta secara massal dan Arabika pada ketinggian 300 m, maka para penghasil kopi dunia langsung terkena dampaknya. Namun kondisi jatuhnya harga di pasar dunia ini justru menjadi faktor positif apabila kita ingin mempromosikan "kopi enak" yang selama ini merupakan komoditas ekspor kepada masyarakat luas.

Ada empat varietas kopi yang paling banyak ditanam petani. Pertama Robusta. Kopi inilah yang paling luas pengusahaannya, dengan hasil yang mendominasi pasar dunia. Kedua kopi Arabika. Jenis kopi ini hanya bisa berkembang baik di ketinggian lebih dari 1.000 m. dpl. Indonesia masih memiliki areal kopi Arabika antara lain di Takengon (Aceh), Mandailing (Sumut), Ijen (Jatim) dan Toraja (Sulsel). Kopi ini memiliki citarasa yang paling enak hingga harganya juga paling tinggi. Ketika sekarang ini harga kopi Robusta jatuh sampai ke tingkat harga Rp 3.500,- per kg. di level petani, maka harga kopi Arabika Ijen grade I tetap bertengger pada harga Rp 14.000,- sampai Rp 15.000,- per kg. Sementara Arabika Mandailing Rp 17.000,- sampai dengan Rp 18.000,- per kg. Tetapi Arabika hanya bisa dipasarkan pada konsumen khusus. Selain Robusta dan Arabika, masih ada kopi Ekselsa dan Liberika yang tidak begitu banyak dibudidayakan petani, karena produktifitasnya rendah dan kualitas kopinya tidak sebaik Robusta. Selama ini yang paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia adalah kopi Robusta hasil budidaya rakyat. Bukan dari kebun besar milik PTPN maupun swasta.
Kopi robusta baru bisa dinikmati kelezatannya apabila proses pengolahan dari buah menjadi biji kering dilakukan dengan benar.  Pertama, buah kopi harus dipanen ketika sudah matang dan berwarna merah. Pada perkebunan besar, panen buah kopi dilakukan dalam dua sampai tiga tahap untuk mendapatkan buah yang benar-benar telah masak. Pada perkebunan rakyat buah langsung dipanen sekaligus hingga buah masak, tua dan muda campur jadi satu. Selanjutnya buah kopi tersebut disortir dan di"pulping" atau digiling untuk mengupas kulit buah kopi tersebut. Proses pulping ini di perkebunan rakyat dilakukan tanpa melalui sortasi. Akibatnya buah kopi kecil banyak yang tidak terkupas, sementara yang berukuran  besar, terutama yang masih hijau, banyak yang pecah kulit bijinya. Di perusahaan besar, pulping biasanya dilakukan dengan sistem basah, sementara di perkebunan rakyat dengan sistem kering. Selanjutnya biji kopi difermentasi  dengan perendaman sampai 40 jam sambil membuang kulit buah yang mengapung. Tiap 10 jam air rendaman diganti. Fermentasi biji kopi hasil pulping ini berguna untuk "menimbulkan" aroma robusta. Pada perkebunan rakyat, hasil pulping langsung dijemur sampai kering tanpa fermentasi. Akibatnya aroma Robustanya tidak muncul. Hingga bisa dimengerti kalau kualitas kopi yang dikonsumsi rakyat selama ini sangat rendah dibanding kopi hasil perkebunan besar untuk pasar ekspor.

Ketika minum kopi, yang kita nikmati adalah aromanya. Bukan caffeeinnya. Kopi bubuk yang dikonsumsi rakyat disangrai dan digiling secara massal sebelum dikemas dan dipasarkan. Kita tidak pernah melihat tanda "kadaluwarsa" pada kemasan-kemasan kopi bubuk yang beredar di pasaran. Karenanya aroma kopinya sudah banyak hilang. Di hotel-hotel bintang, kita bisa menikmati keharuman kopi "kualitas" ekspor tersebut. Di sini, biji kopi disangrai dalam volume sesuai dengan keperluan. Selanjutnya digiling hanya ketika akan dikonsumsi. Hingga seduhan kopi di coffee shop di hotel bintang, bisa tercium aromanya dari jarak yang sangat jauh. Masyarakat tradisional di desa-desa penghasil kopi, juga lazim mengkonsumsi kopi dengan cara demikian. Kopi disangrai dan dijadikan bubuk dalam volume yang terbatas untuk dikonsumsi paling lama satu minggu. Hingga, meskipun kopi tersebut dicampur beras atau jagung dengan volume sampai 50%, tetapi aromanya masih sangat kuat. Sekarang inilah saatnya kita memperkenalkan cara minum kopi yang benar ke masyarakat. Sebab stok kopi kualitas ekspor kita sedang sangat melimpah. Daripada kita banyak menggerutu tentang ulah Vietnam yang dengan sekali gebrak bisa memporakporandakan pasar kopi dunia. (FR)+++

Sertifikasi Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu Lestari (PHHBKL)

Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) telah mengembangkan Sistem Sertifikasi Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu Lestari (PHHBKL), selanjutnya disebut Sertifikasi HHBK.  Penyusunan standar Sertifikasi HHBK telah dimulai pada tahun 2007 dan telah melalui beberapa kali diskusi yang intensif diantara Tim Penyusun dan telah mengundang beberapa orang sebagai nara sumber. Tim Penyusun Sertifikasi HHBK adalah Didik Suharjito (Fahutan IPB), Siswoyo (Fahutan IPB), Wibowo A Djatmiko (LATIN), Alan Purbawiyatna (LEI), Wahyu F Riva (LEI) dan Gladi Hardiyanto (LEI).

Standar Sertifikasi HHBK ini juga telah diujicoba di 3 wilayah yaitu di Nusa Tenggara Barat (NTB) pada bulan Mei 2009, Lampung pada bulan September 2009, dan Kalimantan Tengah pada bulan Oktober 2009.  Untuk ujicoba di Nusa Tenggara Barat, LEI bekerjasama dengan Lembaga KONSEPSI di Mataram yang memilih lokasi di areal HKm Site Santong, areal HKm Site Monggal, areal HKm site Sesaot, dan areal HKm site Sambelia.   Untuk ujicoba di Lampung, LEI  bekerjasama dengan WATALA dan SHK Lestari yang memilih lokasi di  wilayah HKm di Sumber Jaya dan Tahura Wan Abdurrahman.  Sementara di Kalimantan Tengah, LEI bekerja sama dengan Yayasan KEHATI yang memilih lokasi di Buntok.
Berdasakan hasil ujicoba dan pertemuan Tim Penyusun pada tanggal 14 -16 Desember 2009, disepakati beberapa hal yaitu:
1.     Definisi HHBK mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku yaitu hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budidayanya kecuali kayu yang berasal dari hutan.  Namun dalam Sertifikasi HHBK yang dikembangkan oleh LEI ini belum mencakup standar penilaian kelestarian HHBK yang berasal dari hewani beserta produk turunan dan budidayanya.
2.     Standar HHBK yang dikembangkan merupakan standar yang diturunkan dari standar Sertifikasi PHAPL, PHTL, dan PHBML.  Standar ini bersifat generic yang berbasis kawasan dan produk.
3.     LEI mengembangkan Sertifikasi HHBK yang dapat diintegrasikan dengan ketiga sistem sertifikasi lainnya (Sertifikasi PHAPL,PHTL, dan PHBML)
4.     Landasan keterkaitan dengan ketiga sistem sertifikasi lainnya adalah pada tingkat Kriteria.  Sementara pada level Indikator, dibuat spesifik berdasarkan kelompok jenisnya (khususnya pada aspek produksi)
5.     Cakupan standar ini hanya pada pengelola/pemungut HHBK, belum sampai pada CoC untuk pengumpul/pengolah produk HHBK lebih lanjut
6.     Standar ini dapat digunakan untuk pengelola/pemungut HHBK baik skala kecil sampai  skala besar
7.     Persyaratan yang berkaitan dengan pengayaan dan/atau budidaya jenis dan kelompok jenis tidak secara detail diatur dalam standar ini karena keragaman jenis produk HHBK yang tinggi
8.     Bila pemegang hak pengelolaan dan/atau pemanfataan HHK pada Hutan Produksi, maka:
a.     UM harus sudah mendapatkan sertifikasi pengelolaan HHK, atau
b.     UM dapat mengajukan sertifikasi HHBK dan pengelolaan HHK secara bersamaan

Sertifikasi CoC

Apakah Sertifikasi Lacak Balak Itu?
Sertifikasi lacak balak adalah suatu metode sertifikasi untuk menelusuri perjalanan bahan baku kayu dari hutan ke pabrik, yang dalam prosesnya melewati proses pengangkutan, pengapalan, dan pembuatan produk hingga menjadi produk siap pakai. Perusahaan yang telah memperoleh sertifikat lacak balak berhak menggunakan logo LEI pada produk. Logo ini memberikan jaminan bahwa produk ini legal dan bisa ditelusuri sampai ke asalnya yaitu hutan yang bersertifikat LEI.

Bagaimana Caranya?
Penelusuran dan pengujian dilakukan terhadap kemampuan sistem documentasi alur kayu di perusahaan yang dapat melacak asal bahan baku ke lokasi di hutan. Bila bahan bakunya dapat dilacak dan sesuai dengan standard LEI, perusahaan itu diberikan sertifikat lacak balak. Yang melakukan penelusuran dan pengujian adalah Lembaga Sertifikasi yang telah diakreditasi oleh LEI.

Alasan Mengapa Sertifikasi Lacak Balak Perlu:
Sertifikasi lacak balak LEI mampu memberikan solusi. Konsumen yang baik hanya ingin membeli brand yang mereka percaya. Perusahaan yang baik ingin mempunyai sistem produksi yang baik supaya produk mereka diterima oleh pasar. Sertifikasi lacak Balak merupakan alat komunikasi bisnis yang mempertemukan antara produk yang berasal dari hutan lestari dengan keinginan pasar. Sertifikasi lacak balak juga alat yang mempertemukan kepentingan lingkungan dengan selera konsumen. Tanpa sertifikasi lacak balak, produk yang berasal dari hutan lestari tidak bisa diberi label. Tanpa label, perusahaan tidak bisa menunjukkan kepada publik dan konsumen bahwa produknya berasal dari hutan yang dikelola secara lestari. Akibatnya, konsumen yang memiliki selera atas produk-produk hijau juga tidak melihat produk itu sebagai pilihan. Dengan sendirinya mengurangi akses pasar atas produk tanpa label ini, walaupun produk ini baik.

Sertifikasi PHAPL

Dalam kurun waktu tahun 2004 s/d 2008, proses sertifikasi LEI untuk pengelolaan hutan alam produksi lestari (PHAPL) telah diterapkan di berbagai daerah atas sejumlah unit manajemen.

Sejauh ini lima unit manajemen berbasis hutan alam produksi yang telah lulus sertifikasi LEI yaitu :
  1. PT. DIAMOND RAYA TIMBER
  2. PT. INTRACAWOOD MANUFACTURING
  3. PT. SARI BUMI KUSUMA Unit Seruyan
  4. PT. ERNA DJULIAWATI
  5. PT. SUMALINDO LESTARI JAYA UNIT II
  6. PT. SARPATIM
Untuk memperkuat rekognisi pasar atas produk hutan tanaman yang berlogo LEI, LEI melaksanakan program promosi sebagai berikut :
  1. Pernyataan-pernyataan di media massa terkait dengan Green Products yang mulai diminta oleh pasar Eropa dan Amerika.
  2. Iklan di Inflight Magazine Garuda Indonesia 2007 atas keluarnya produk furniture yang berbahan baku lestari bersertifikasi LEI.
  3. Mempromosikan LEI dan produknya di Asmindo Pavillion pada Pameran Produk Ekspor 2007, Jakarta International Expo.
  4. Mempromosikan LEI dan dan produknya (baik jasa maupun produk bersertifikat LEI) di Green Pavillion pada Pameran IFFINA 2008, Jakarta International Expo.
Untuk menjaga kredibilitas sistem sertifikasi LEI dalam mendorong praktek pengelolaan hutan alam produksi yang lestari, maka Lembaga Sertifikasi LEI PT. Mutu Agung Lestari telah menahan (suspend ) sertifikat PT. Diamond Raya Timber, Riau.

Sertifikasi PHTL

Dalam kurun waktu tahun 2004 s/d 2008, proses sertifikasi LEI untuk pengelolaan hutan tanaman lestari (PHTL) telah diterapkan di berbagai daerah atas sejumlah unit manajemen.  Sejauh ini2 (dua) unit manajemen yang telah lulus sertifikasi LEI yaitu  PT. Riaupulp and Paper untuk areal yang memiliki SK Menteri Kehutanan No. 137/Kpts-II/1997 dan PT. Wira Karya Sakti.
Untuk memperkuat rekognisi pasar atas produk hutan tanaman yang berlogo LEI, LEI melaksanakan program promosi sebagai berikut :
  1. Pernyataan-pernyataan di media massa terkait dengan Green Products yang mulai diminta oleh pasar Eropa dan Amerika.
  2. Iklan di Inflight Magazine Garuda Indonesia 2007 atas keluarnya produk furniture yang berbahan baku lestari bersertifikasi LEI.
  3. Mempromosikan LEI dan produknya di Asmindo Pavillion pada Pameran Produk Ekspor 2007, Jakarta International Expo.
  4. Mempromosikan LEI dan dan produknya (baik jasa maupun produk bersertifikat LEI) di Green Pavillion pada Pameran IFFINA 2008, Jakarta International Expo.
Melalui instrumen sertifikasi ini LEI telah berperan dalam memediasi persoalan konflik yang terjadi di areal pengelolaan hutan.

Sertifikasi PHBML

http://www.lei.or.id/
Dalam kurun waktu tahun 2004 s/d 2008, proses sertifikasi LEI untuk pengelolaan hutan berbasisi masyarakat lestari (PHBML) telah diterapkan di berbagai daerah atas sejumlah unit manajemen di bawah ini :
1. Forum Komunitas Petani Sertifikasi Selopuro, Wonogiri (Jawa Tengah).
2. Forum Komunitas Petani Sertifikasi Sumberrejo, Wonogiri (Jawa Tengah)
3. Koperasi Wana Manunggal Lestari, DI Yogyakarta
4. Gabungan Organisasi Pelestari Hutan Rakyat (GOPHR) Wono Lestari Makmur, Wonogiri (Jawa Tengah).
5. Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat Catur Giri Manunggal, Wonogiri (Jawa Tengah).
6. Menua Sungai Utik, Putussibau (Kalimantan Barat).
Semua dinyatakan lulus oleh Lembaga Sertifikasi PT. Mutu Agung Lestari dan PT. TUV Internasional Indonesia, dan berhak memperoleh sertifikat LEI.
Untuk memperkuat rekognisi pasar atas produk hutan rakyat yang berlogo LEI, LEI melaksanakan program-program sebagai berikut :
Promosi
  1. Pernyataan-pernyataan di media massa terkait dengan Green Products yang mulai diminta oleh pasar Eropa dan Amerika.
  2. Iklan di Inflight Magazine Garuda Indonesia 2007 atas keluarnya produk furniture yang berbahan baku lestari bersertifikasi LEI.
  3. Mempromosikan LEI dan produknya di Asmindo Pavillion pada Pameran Produk Ekspor 2007, Jakarta International Expo.
  4. Mempromosikan LEI dan dan produknya (baik jasa maupun produk bersertifikat LEI) di Green Pavillion pada Pameran IFFINA 2008, Jakarta International Expo.
  5. Produk dari hutan rakyat berlogo LEI telah dijual di pasaran Eropa melalui perdagangan dengan Maison Du Monde (MDM).
Peningkatan Kapasitas SDM
LEI bekerjasama dengan IFC mendapatkan 15 orang Trainer untuk melatih dan mengembangkan kapasitas pelaku bisnis industri furniture dan kerajinan untuk memperoleh sertifikat COC dari LEI.

Peningkatan Ketersediaan Produk Bersertifikat LEI dari Hutan Berbasis Masyarakat
Dalam upaya menghadirkan Produk Indonesia Hijau yang berasal dari hutan Indonesia yang lestari, 4 (empat) lembaga yang terpercaya di bidangnya yaitu LEI, ASMINDO, PT. Setyamitra Bhaktipersada dan Koperasi Perumahan Wana Nusantara (KPWN) menjalin kerjasama dalam sebuah Aliansi Pendukung Produk Indonesia Hijau Berbasis Hutan Kelola Masyarakat Lestari. Aliansi ini dibentuk untuk mendorong ketersediaan produk yang ramah lingkungan di pasaran, terutama untuk mebel dan kerajinan dari Indonesia. Produk yang ramah lingkungan merupakan produk yang berasal dari hutan rakyat yang legal dan lestari dan memiliki kualitas yang tinggi.
Kerjasama aliansi diawali dengan penandatangan Memorandum of Understanding oleh 4 lembaga yaitu LEI, ASMINDO, PT. Setyamitra Bhaktipersada, dan Koperasi Perumahan Wana Nusantara (KPWN) yang penandatanganannya disaksikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Pembukaan International Furniture and Craft Fari Indonesia 2008 di JIExpo Kemayoran, Jakarta pada tanggal 7 Maret 2008.
Areal dan Jaringan Perdagangan
Unit pengelola hutan yang telah bersertifikat (daerah Gunung Kidul dan Wonogiri) diupayakan menjadi sumber perluasan areal bersertifikat dan pengembangan kayu bersertifikat bagi industri-industri kayu terutama di Pulau Jawa. Aliansi pasar untuk kayu bersertifikat telah dibentuk pada tahun 2007 bertujuan untuk meningkatkan jaringan perdagangan bekerjasama dengan Asmindo Komda Surakarta. Dengan pembentukan aliansi, rantai perdagangan menjadi langsung dari petani ke produsen (industri), tanpa melewati pengepul, sehingga meningkatkan harga kayu di tingkat petani.
Sertifikasi bagi Pengelola Hutan berbasis Masyarakat
Bagi para pengelola hutan rakyat, sertifikasi berfungsi membuka akses pasar bagi produk hutan rakyat, dapat memberikan harga jual yang relatif lebih tinggi di tingkat petani bagi produk-produk bersertifikat dari hutan rakyat, dan membuka akses perluasan hutan rakyat bagi kepentingan rehabilitasi lahan sekaligus peningkatan ekonomi masyarakat.
Bagi pengelola hutan adat di Indonesia sertifikasi LEI digunakan sebagai proxy lewat pengakuan pasar untuk memberikan pengakuan atas kemampuan masyarakat dalam mengelola hutannya. Dengan adanya pengakuan pasar, sertifikasi membantu upaya masyarakat adat dan pihak-pihak lain yang mendampinginya untuk meyakinkan pemerintah untuk mendapatkan hak kelola masyarakat adat ataupun bentuk pengakuan lain yang dapat memberi ruang yang cukup bagi masyarakat adat untuk dapat mengelola hutannya secara berkelanjutan. Pihak-pihak lain yang bergerak di bidang advokasi masyarakat adat dapat menggunakan sertifikasi untuk membantu upaya advokasi atas pengakuan hak kelola hutan adat.

Selasa, 24 Januari 2012

Ekonomi Sulit, Bisnis Kopi Justru Melejit

Metrotvnews.com




Harga kopi yang kian mahal tak membuat bisnis kedai minuman tersebut ambruk. Justru, kedai-kedai kopi di Eropa kian melejit di tengah kesulitan ekonomi yang melanda sejumlah negara.

Satu di antaranya kedai kopi milik keluarga Barista Taylor di Inggris, London. Taylor mengaku bisnis kopi tetap berjalan baik. Bahkan permintaan biji kopi yang berkualitas kian meningkatkan popularitas kedainya.

Pengunjung kedai pun tak masalah membayar sedikit mahal. Asalkan, kopi yang didapat bercita rasa tinggi. Tak heran bila kemahiran Barista terkenal di London, Swedia, Jerman, hingga Belanda.(RRN)

Melbourne International Coffee Expo 2012



Konsulat Jendral RI di kota Melbourne mengirimkan media rilis kepada saya tentang event Melbourne International Coffee Expo (MICE),  yang akan berlangsung dari tanggal 4 hingga 6 Mei 2012. Sebagai catatan, inilah event kopi terbesar yang akan diselenggarakan di Australia dengan 100 lebih peserta pameran yang akan menggunakan ruang seluas 8 ribu meter persegi. Kegiatan MICE akan diadakan bersamaan dengan Australia Barista Championship dan berbagai kompetisi lainnya yang akan berlangsung selama dilangsungkannya acara Expo. Tahun lalu panitia berhasil mendatangkan sebanyak 40 ribu pengunjung untuk hadir dalam acara Expo ini dan diharapkan jumlahnya akan bertambah di tahun 2012.


Prospektus melalui Konjen RI dari pihak panitia MICE yang ditujukan bagi  para produsen biji kopi di Indonesia sebagai ajang untuk mengenalkan produk mereka sekaligus menjalin hubungan dengan 100 mitra dagang potensial dalam bidang : green bean traders, wholesale roasters, peralatan untuk cafe, franchise, berbagai aksesoris, dan bidang pelatihan.

Untuk menekan biaya pameran, KJRI Melbourne mengharapkan adanya cost sharing dengan wakil perusahaan, asosiasi untuk menutup biaya stand,  signage, furniture,  asuransi, keamanan. Prospektus pameran mengutip biaya AU$ 7500 untuk stand ukuran 6x3m atau 11.500 untuk 9x3m. Kecuali biaya transportasi yang harus ditanggung secara perorangan.

Potensi yang sanagat menjanjikan dan kesempatan untu melakukan kontak awal dengan mitra dagang di Melbourne adalah dua alasan valid bagi perusahaan kopi Indonesia untuk melakukan penetrasi pasar ke Australia. Konsumsi kopi di Melbourne banyak dipengaruhi oleh para imigran dari Eropa yang banyak datang di awal abad ke-20 dengan konsusmi 2.6 kilogram per kapita. Satu juta ton kopi terjual setiap tahunnya dengan nilai lebih dari 700 juta dolar Australia dan import biji kopi sebanyak 48.5 ribu ton per tahun.

Adrian Malvianto
Consulate General of the Republic of Indonesia
72 Queens Rd | Melbourne | Vic 3004
P: +61 3 9525 2755
M: +61 433 632 682
F: +61 3 9525 1588
email : adrian.malvianto@kjri-melbourne.org

Ekolabeling, Strategi Bisnis Jitu Peduli Hutan

Ekolabel berasal dari kata eco yang berarti lingkungan hidup dan label yang berarti suatu tanda pada produk yang membedakannya dari produk lain. Ekolabel membantu konsumen untuk memilih produk yang ramah lingkungan sekaligus berfungsi sebagai alat bagi produsen untuk menginformasikan konsumen bahwa produk yang diproduksinya ramah lingkungan. Berdasarkan hal tersebut maka tergambarkan bahwa kegunaan utama ekolabel adalah untuk membantu konsumen membuat "suatu pilihan", karena ekolabel memungkinkan adanya perbandingan antara produk-produk sejenis. Ekolabel yang dapat dipercaya diberikan melalui proses sertifikasi oleh pihak ketiga yang independen untuk menilai bahwa suatu produk diproduksi dengan mengindahkan kaidah-kaidah pelestarian lingkungan hidup. Mengacu pada GATT (General Agreement on Tariff and Trade), ekolabel didasarkan pada non-diskriminasi dan atas dasar sukarela. Dasar sukarela menekankan bahwa sistem sertifikasi bekerja atas dasar insentif pasar. Produsen ikut serta ketika melihat ada insentif pasar sebagaimana WTP bagi produk-produk berlabel atau kesempatan untuk mengembangkan pasaran baru atau mereka tidak melakukan ancaman boikot ketika tidak mendapatkan insentif pasar. Pemilihan kategori produk memasukkan seluruh produk-produk sejenis dan menerapkan standar-standar yang sama guna menghindari diskriminasi perdagangan, hal ini mengacu pada Pasal 7 Kesepakatan Technical Barriers to Trade (TBT) GATT. (LEI, 1994) 

    Lembaga ekolebel Indonesia (LEI) menjelaskan bahwa Pada tahun-tahun akhir era 80-an hingga awal-awal tahun 90-an para penggiat lingkungan yang tergabung dalam lembaga swadaya masyarakat (Environmental non-government organization/ ENGO) melihat bahwa upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengurangi laju pengurangan luasan kawasan hutan ataupun untuk menghentikan laju deforestasi sangat minimal sekali, baik yang terjadi di kawasan hutan tropik maupun sub-tropik. 


    Upaya boikot terhadap hasil-hasil hutan – terutama pada kayu tropis – nyatanya tidak terlalu membawa hasil yang menggembirakan. Terutama, selain tersandung ketentuan WTO yang tidak membolehkan ada penghalang perdagangan, juga karena perdagangan kayu dan hasil turunannya tidak dapat dihindarkan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Situasi ini mendorong munculnya inisiatif untuk menggunakan sistem sertifikasi hutan (forest certification system ) yang berorientasi pasar dan bersifat sukarela. 


    Dari sudut pandang konsumen, sertifikasi menunjukkan kepedulian mereka dalam penggunaan produk hijau. Dalam konteks ini, konsumen menghendaki dilakukannya internalisasi faktor kelestarian lingkungan hidup dalam aktivitas ekonomi, mulai dari ekstraksi/eksploitasi bahan baku, proses produksi, hingga pengemasan. Konsumen memerlukan simbol - atau semacam label - yang menunjukkan bahwa produk yang dipilihnya telah melalui proses produksi yang akrab lingkungan. Indikasi atau simbol tersebutlah yang kemudian dikenal dengan sebutan ekolabel (ecolabelling ). Ekolabel memberikan informasi bahwa suatu standar yang akrab lingkungan telah dilaksanakan dalam proses produksi barang/jasa yang membawa label tertentu itu.
 
Isu Pemanasan Global Akibat Hutan    
Sejak berlangsungnya konferensi Stockholm pada tahun 1972, masalah lingkungan hidup nampaknya terus berkembang "menjadi isu global ". Negara-negara industri maju, khususnya di Amerika dan Eropa semakin meningkat kepeduliannya terhadap kondisi lingkungan di seluruh bagian dunia. Sebaliknya negara-negara berkembang juga terpacu untuk terus menerus meningkatkan upaya dalam menjaga, memelihara, dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup di negaranya masing-masing.(DepHut, 2000)
        Pemanasan Global menjadi momok dan terus mengancam yang tentu saja akan berdampak sangat buruk bagi kelangsungan kehidupan di seluruh dunia. Penyebab utama pemanasan Global (Global Warming) ini akibat pengaruh gas karbon (CO2) yang sudah di ambang batas di atmosfir sehingga menimbulkan efek rumah kaca yang menyebabkan suhu bumi semakin naik. Menghindari penebangan hutan, menanam pohon merupakan salah satu strategi utama untuk menghambat laju pemanasan global. Fungsi pohon, menyerap karbon (CO2) dan melepaskannya ke alam sebagai O2. Oleh karena itu fungsi hutan merupakan bagian yang teramat penting dalam menjaga kestabilan suhu bumi. Bukan hanya itu saja, hutan juga juga berfungsi penyedia jasa lingkungan bagi kehidupan semua makhluk hidup di Bumi. (firman Hadi, 2006)
    Melihat kenyataan bahwa laju deforestasi (illegal logging) di Indonesia sudah sangat tidak terkendali, maka upaya-upaya reforestasi yang dilakukan oleh beberapa komunitas atau kelompok masyarakat untuk mengembalikan fungsi hutan perlu mendapatkan dukungan dan apresiasi. Di negara-negara maju di Eropa, Amerika, dan Jepang, program-program semacam ini banyak diadakan untuk kepentingan riset, program-program konservasi, ataupun pemberdayaan masyarakat. Bahkan program tersebut tidak hanya didukung oleh departemen atau institusi pemerintahan yang berkepentingan, melainkan juga didukung oleh perusahaan-perusahaan besar yang tidak memiliki kepentingan langsung.

Strategi Bisnis

    Persaingan antar perusahaan merupakan hal yang sangat lumrah sebagai sebuah aktivitas bisnis. Berbagai strategi dalam hal memasarkan produk dilakukan untuk mendongkrak angka penjualan, mulai dari permainan harga, penyebaran area distribusi, inovasi produk, jasa pelayanan, hingga kegiatan-kegiatan promosi yang bersifat massal. Perusahaan dituntut untuk selalu membuat hal-hal baru yang dapat menyesuaikan diri terhadap perkembangan jaman. Terkait dengan masalah tersebut, yaitu kondisi yang paling banyak dibicarakan saat ini mengenai pemanasan global yang telah menyita perhatian dunia, maka sepantasnyalah jika pelaku bisnis menerapkan strategi bisnisnya berkaitan dengan isu pemanasan global.
    Menurut Richard George, jika perusahaan ingin sukses dalam berbisnis, maka dibutuhkan tiga hal pokok yaitu produk yang baik, manajemen yang mulus, dan etika (Endro, 1999).    Perusahaan sebagai bagian dari komunitas sosial dan ekosistem alam, tidak dapat terpisah dari etika dan tanggung jawab. Keberlanjutan suatu perusahaan selain ditentukan oleh aspek profit (ekonomi), juga dibatasi oleh aturan-aturan (norma) yang berlaku dalam masyarakat dan keberlanjutan sumber daya alam. Oleh karena itu suatu perusahaan harus memiliki tanggung jawab sosial dan lingkungan agar keberlanjutannya terjamin. Aktivitas perusahaan tidaklah pernah terlepas dari hubungan sosial dengan masyarakat, dan sebuah perusahaan besar haruslah memiliki tanggung jawab sosial terhadap lingkungan sekitar. Tanggung jawab sosial ini disebut dengan istilah corporate social responsibility (CSR), yaitu bentuk tanggung jawab moral perusahaan baik terhadap karyawan dalam perusahaan itu sendiri secara internal maupun di luar lingkungan perusahaan, yaitu masyarakat di sekitar perusahaan (Tjager, 2003).
    Dengan menerapkan ecolebeling pada perusahaan, akan menunjukkan bahwa perusahaan juga ikut bertanggung jawab untuk turut mendukung kegiatan-kegiatan menjaga keseimbangan bumi secara berkelanjutan, dan juga untuk mengajak masyarakat untuk turut serta dalam upaya pelestarian hutan ketika menggunakan produk atau jasa yang ditawarkan oleh perusahaan, sehingga dapat menimbulkan kepercayaan, ketertarikan, dan kecintaan masyarakat terhadap produk atau jasa yang ditawarkan perusahaan.
    Tujuan tersebut di atas selaras dengan apa yang dikatakan LEI mengenai tujuan kedua dari sertifikasi hutan, yaitu untuk meningkatan akses pasar dan share for products dari sistem pengelolaan yang lestari. Tujuan ini disebut sebagai tujuan perdagangan atau Trade Objective, dimana dengan melestarikan hutan perusahaan akan mendapatkan kepercayaan dari banyak kalangan masyarakat sehingga menambah akses pasar untuk dapat diperluas.
    Kesimpulan yang dapat kita ambil dari pembahasan singkat di atas adalah, bahwa penerapan strategi bisnis yang jitu diterapkan yang sesuai dengan keadaan abad ini adalah ekolabeling terhadap produk atau jasa yang dihasilkan perusahaan.



http://www.kabarindonesia.com/