SURABAYA,KOMPAS.com - Meski merupakan produsen teh dan kopi nasional  terbesar, produksi industri hilir PT Perkebunan Nusantara VIII dan XII  baru mencapai satu persen hingga tiga persen. Sebanyak 80 persen teh dan  kopi masih diekspor dalam bentuk curah sehingga pasar industri hilir  teh dan kopi saat ini masih tetap didominasi pihak swasta.
Direktur  Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII (Persero) Bagas Angkasa, Rabu  (16/12) di sela acara Karet Nusantara Award dan Teh Nusantara Award di  Hotel JW Marriot, Surabaya mengatakan, dari total produksi teh sebanyak  60.000 ton per tahun, PTPN VIII baru mampu mengolahnya ke industri hilir  sekitar dua persen hingga tiga persen. Satu produk industri hilir PTPN  VIII yang mulai dipasarkan adalah Teh Walini.
Hal serupa juga  dialami PTPN XII. Dengan produksi Kopi Arabica sebanyak 3.000 ton per  tahun dan Kopi Robusta sebanyak 4.000 ton per tahun, PTPN XII hanya  mampu mengolahnya menjadi produk industri hilir sekitar satu persen  hingga dua persen, salah satunya berupa produk bermerek Rolas.
"Kami  sedang berusaha mengembangkan produk-produk industri hilir, dari hasil  perkebunan kopi, teh, dan coklat. Memang jumlahnya masih sedikit,  seperti misalnya untuk produksi 3.000 ton teh kering, baru sekitar 20  ton hingga 30 ton yang bisa diolah ke industri hilir," kata Direktur  Utama PTPN XII (Persero) Nurhidayat.
Ironis
Sekretaris  Perusahaan PTPN VIII (Persero) Tribagus mengatakan, dengan total  produksi teh ke sektor hilir hanya sekitar dua persen hingga tiga  persen, keberadaan PTPN merupakan sebuah ironi. Sebanyak tujuh PTPN di  Indonesia menguasai kebun teh, tapi produk industri hilir yang  dihasilkan sangat minim.
"Industri hilir minuman teh justru  didominasi perusahaan swasta yang tak memiliki kebun teh. Kami akan  serius terjun ke industri hilir. PTPN seharusnya mampu karena memiliki  persediaan bahan baku melimpah," paparnya.
Sejak tahun 2003, PTPN  VIII (Persero) mulai mengembangkan produk teh bermerek Walini. Bulan  Januari 2010 mendatang, PTPN VIII (persero) memproduksi produk hilir teh  botol siap saji Walini sebanyak 300.000 botol dan akan dinaikkan  menjadi 1 juta botol per bulan setelah peluncuran produk pada bulan  Maret 2010.
Sementara itu, Direktur Produksi PTPN XII (Persero)  Danu Riyanto mengatakan, beberapa produk industri hilir yang mulai  dikenalkan di pasar, antara lain Green Tea, White Tea, Kopi Luwak,  Kacang Makadamia, dan Stroberi. PTPN XII (Persero) juga mulai  meluncurkan air minum dalam kemasan dengan kapasitas 150.000 dus per  tahun.
Deputi IV Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN)  Agus Pakpahan mengatakan, Kementrian BUMN mendesak BUMN-BUMN untuk  meningkatkan produk-produk ke arah industri hilir. Menurutnya, langkah  ini membutuhkan transformasi budaya di seluruh jajaran BUMN.
"Sejak  zaman penjajahan Belanda, kita lahir dalam budaya penanam (planter ).  Seluruh bahan baku yang diproduksi justru dikirim dan diolah di luar  negeri. Padahal, jika kita mampu mengolah maka banyak nilai tambah yang  akan diperoleh," ucapnya.
They've come a long, long way from the farm to you. delicious coffee bean... fadilprojectkopi@gmail.com
Senin, 30 April 2012
Eksportir Kopi Bidik Tiongkok
JAKARTA -  Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) akan membidik pasar Tiongkok,  menyusul perlambatan ekonomi Amerika Serikat dan Eropa.
Tiongkok rnulai lahir sebagai negara pencinta kopi. Ini adalah peluang yang harus dimanfaatkan eksportir kopi nasional," ujar Wakil Ketua Umum Bidang Industri dan Spesialti di Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Pranoto Soenarto di Jakarta, Selasa (10/4).
Menurut Pranoto, penduduk Tiongkok mulai menyukai kopi. Negara itu kini paling tidak membutuhkan pasokan 1,2 juta ton kopi. "Selama ini Vietnam menjadi negara pengekspor kopi terbesar ke Tiongkok," ucap dia. Sebab itu, kata dia, petani dan eksportir Indonesia tidak perlu khawatir dengan adanya krisis global di kawasan Eropa dan Amerika Serikat. "Memang untuk investasi di dalam negeri terbilang cukup rendah. Hal ini disebabkan budaya minum kopi, di mana masyarakat jika sudah memiliki kepercayaan pada satu kopi tidak akan
berpaling ke kopi lain," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Benny Wahyudi mengatakan, perkembangan sektor industri kopi olahan sebenarnya cukup menggembirakan.
"Jumlah pengolahan kopi dari 77 perusahaan saat ini naik menjadi 81 perusahaan, belum lagi industri kecil dan rumah tangga yang banyak menghasilkan kopi spesialti," ujar Pranoto.
Tiongkok rnulai lahir sebagai negara pencinta kopi. Ini adalah peluang yang harus dimanfaatkan eksportir kopi nasional," ujar Wakil Ketua Umum Bidang Industri dan Spesialti di Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Pranoto Soenarto di Jakarta, Selasa (10/4).
Menurut Pranoto, penduduk Tiongkok mulai menyukai kopi. Negara itu kini paling tidak membutuhkan pasokan 1,2 juta ton kopi. "Selama ini Vietnam menjadi negara pengekspor kopi terbesar ke Tiongkok," ucap dia. Sebab itu, kata dia, petani dan eksportir Indonesia tidak perlu khawatir dengan adanya krisis global di kawasan Eropa dan Amerika Serikat. "Memang untuk investasi di dalam negeri terbilang cukup rendah. Hal ini disebabkan budaya minum kopi, di mana masyarakat jika sudah memiliki kepercayaan pada satu kopi tidak akan
berpaling ke kopi lain," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Benny Wahyudi mengatakan, perkembangan sektor industri kopi olahan sebenarnya cukup menggembirakan.
"Jumlah pengolahan kopi dari 77 perusahaan saat ini naik menjadi 81 perusahaan, belum lagi industri kecil dan rumah tangga yang banyak menghasilkan kopi spesialti," ujar Pranoto.
Sarana bisnis oneline
http://www.bisnisgoonline.co.id
http://www.kadin-indonesia.or.id
http://www.kadin-indonesia.or.id
Akankah Perubahan Iklim Mengancam Kenikmatan Anda Minum Kopi?
Rasanya sulit mencari orang di bumi ini yang  tak pernah minum kopi. Mungkin pembaca salah seorang penikmat kopi.  Berbagai fakta manfaat kopi bagi kesehatan manusia telah banyak  diungkap. Namun demikian, apakah kesukaan anda akan terus dapat  dirasakan pada waktu-waktu mendatang seperti yang anda nikmati hari ini?
Secangkir kopi, selain enak menemani kita  saat berdiskusi atau sambil kerja, juga merupakan salah satu komoditas  perkebunan penting di Indonesia. Selain itu, kopi juga penting secara  sosial yang menghangatkan hubungan di dalam masyarakat, mulai dari  rumah, kedai tradisonal sampai kafe dan restoran dengan gaya moderen. 
Mengapa kopi penting secara ekonomi dan sosial? 
Berdasarkan statistik perkebunan, pada tahun 2009, terdapat 1.266.235 ha perkebunan kopi di Indonesia. Sebagian besar perkebunan kopi tersebut berupa perkebunan rakyat (1.217.506  ha atau 95,2%) dan sisanya perkebunan milik pemerintah (22.794 ha atau  1,8%) dan swasta (25.935 ha atau 2,0%). Hasil kopi yang dihasilkan  perkebunan tersebut, selain dikonsumsi di dalam negeri, juga menjadi  salah satu komoditas ekspor unggulan, sehingga menghasilkan devisa bagi  negara. Tentunya dengan fakta ini, kopi penting sebagai sumber  pendapatan petani dan juga pendapatan daerah dan negara. 
Sumatera merupakan salah satu sentra  penghasil kopi di dunia. Sudah sejak lama, pasar internasional mengenal  kawasan di Sumatera bagian utara ini sebagai produsen kopi  unggulan, yaitu (1) kopi Sidikalang yang berasal dari kebun kopi di  dataran tinggi Dairi dan sekitarnya (Sumatera Utara), dan (2) kopi Gayo  yang berasal dari kebun kopi di dataran tinggi Gayo, terutama yang  tersebar di kabupaten seperti Aceh Tengah, Bener Merian, dan Gayo Luwes.
Daerah dataran tinggi Gayo dan Dairi serta  sekitarnya, secara alami, baik faktor iklim dan geografisnya cocok untuk  budidaya kopi. Namun dengan perubahan iklim yang telah terjadi,  misalnya dalam bentuk meningkatnya suhu permukaaan bumi dan perubahan  curah hujan, baik jumlah maupun distribusi akan berpengaruh pada  produktivitas kopi. 
Mengapa produktivitas kopi rentan terhadap  perubahan iklim? Rupanya, tumbuhan kopi hanya dapat berproduksi optimal  dalam kisaran suhu yang relatif sempit, yakni antara 18-20 oC (Witgens, 2009).  Di kisaran suhu itu, meski kopi dapat tumbuh namun kemampuannya  menghasilkan buah kopi jauh berkurang. Hasil penelitian Fakultas  Pertanian USU bekerjasama dengan Conservation International Indonesia  (Bakti et al, 2011) menunjukkan bahwa pada periode 2006-2010 di sentra  penghasil kopi Dairi, suhu rata-rata berkisar 20,25 - 21,85 oC, sehingga sudah berada di luar kisaran suhu optimal berbuah dan berproduksi. 
Hasil olahan data statistik Kabupaten Aceh  Tengah dalam angka menunjukkan bahwa sejak tahun 2007 sampai 2010 telah  terjadi penurunan secara terus menerus produktivitas rata-rata kebun  kopi per hektar, dari 0,83 ton/ha pada tahun 2007 menjadi hanya 0,52  ton/ha. Sementara buah kopi merupakan hasil yang sangat diharapkan oleh  petani sebagai sumber pendapatannya. 
Meskipun belum tersedia data serangan hama  dan penyakit dalam kurun waktu yang lama, namun secara teori kehidupan  hama dan penyakit kopi membutuhkan kondisi lingkungan yang sesuai,  termasuk iklim. Nah, dengan demikian patut diduga perubahan iklim akan  berpengaruh pada serangan hama dan penyakit tumbuhan kopi. Mengapa  demikian? Hasil penelitian, seperti disampaikan oleh Zell (2004), Kovats  et al. (2005), McMichael & Lindgren (2011), bahwa perubahan iklim  telah mempengaruhi perubahan sebaran beberapa vektor penyakit infeksi  (seperti kutu pada daerah lintang yang lebih tinggi atau malaria  menjangkau ke dataran yang lebih tinggi). Sehingga, perubahan iklim  telah mempengaruhi kesehatan manusia. 
Bagaimana hubungan antara perubahan iklim  dengan produktivitas kopi? Berdasarkan hasil-hasil penelitian terkait  perubahan iklim dengan perubahan penyakit pada manusia, sebagaimana  telah disebutkan sebelumnya, patut diduga perubahan iklim juga akan  mempengaruhi populasi, keanekaragaman dan sebaran vektor penyakit dan  hama tanaman kopi, sehingga pada akhirnya akan berpengaruh pada  produktivitas kopi. Akibat selanjutnya, hasil panen yang diperoleh  petani tentu berkurang.
Dr Hasanuddin, ahli penyakit tumbuhan dari FP  USU mengungkapkan perlunya antisipasi kemungkinan berubahnya status  populasi dan serangan hama dan penyakit menjadi gangguan yang serius  pada produktivitas kopi akibat perubahan iklim. Oleh karena itu,  diperlukan penelitian yang berkelanjutan terkait hama dan penyakit kopi  kaitannya dengan berbagai faktor iklim, sehingga akan dapat diduga  secara lebih tepat keterkaitan antara perubahan iklim terhadap kejadian  dan tingkat serangan hama dan penyakit kopi.
Bumi makin panas, daerah yang sesuai untuk kebun kopi berubah!
Peningkatan suhu permukaan bumi sebagai salah  satu bentuk perubahan iklim disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi  gas-gas rumah kaca (GRK) di atmosfir, salah satunya adalah gas  karbondiokasida (CO2). Secara global, konsentrasi gas CO2  di atmosfir terus meningkat secara cepat, dari sekitar 285 ppm pada  tahun 1880, terus mencapai 315 ppm pada tahun 1960, dan saat ini  melebihi 390 ppm, seperti diungkap oleh peneliti NASA (Cole & McCarthy, 2012).
Bank Dunia tahun 2007 dan peneliti perubahan  iklim lainnnya menyatakan bahwa kerusakan (degradasi) dan kehilangan  (deforestasi) hutan menyumbang 20% sampai 25% dari total emisi tahunan CO2 dunia, sehinga hal ini menjadi salah satu faktor yang sangat nyata sebagai penyebab meningkatnya suhu global (global warming) sebagai salah satu bentuk dari perubahan iklim.
Sementara itu, hasil invetarisasi GRK  Nasional oleh Bappenas tahun 2010 mendapat fakta bahwa 2/3 emisi GRK di  Indonesia diakibatkan oleh kebakaran hutan dan lahan gambut serta  konversi hutan, termasuk menjadi kebun kopi atau penggunaan lahan  lainnya. Semakin tinggi emisi yang dilepas ke atmosfir, semakin tinggi  perubahan suhu yang akan terjadi. Oleh karena itu, terlihat hubungan  yang saling melingkar antara produksi kopi dengan perubahan iklim dan  perilaku kita dalam menggunakan lahan. Lalu dengan demikian, upaya apa yang bisa kita lakukan?
Terry Hills, seorang peneliti Conservation  International yang berbasis di Brisbane, Australia menyatakan bahwa kopi  sangat rentan terhadap perubahan iklim, termasuk naiknya suhu sebagai  akibat meningkatnya emisi GRK. Pada akhirnya areal yang sesuai untuk  budidaya kopi di Sumatera bagian utara akan semakin sempit. 
Tindakan lokal saat ini, dampaknya menyelamatkan kesempatan generasi berikutnya
Fakta ilmiah telah menjelaskan kepada kita  bahwa peningkatan konsertrasi emisi GRK, termasuk gas karbon akibat  berbagai aktivitas manusia telah memicu perubahan iklim, berubah naiknya  suhu permukaan bumi serta berubahnya pola, jumlah dan distribusi curah  hujan. Oleh karena itu, harus ada upaya untuk mencegah (mitigasi)  meningkatnya gas-gas GRK yang lepas ke udara.
Hills, antara lain menyarankan untuk  menggunakan pohon naungan dalam budidaya kopi sebagai salah satu bentuk  adaptasi perubahan iklim. Hasil simulasi Terry Hills menunjukkan  pemberian pohon naungan pada kebun kopi dapat menurunkan suhu mikro  antara 3-4 oC. Selain itu, keberadaan pohon naungan akan  mengurangi kecepatan angin, meningkatkan kelembaban udara, melindungi  bunga dari curah hujan yang terus menerus, menghindari penurunan  temperatur yang besar pada malam hari, menghindari puncak produksi dua  tahunan dan membantu dalam pengelolaan hama/penyakit.
Hasil penelitian kami pada tahun 2010 dan  2011 di kebun kopi di dataran tinggi Gayo menunjukkan bahwa kapasitas  kebun kopi untuk menyerap CO2 (karbon) dari udara dan  menyimpannya dalam bagian tumbuhan masih dapat ditingkatkan menjadi dua  kali dari kondisi budidaya kopi saat ini. Hal itu dapat dilakukan dengan  pengaturan jenis dan jumlah pohon naungan. 
Penambahan pohon naungan tersebut, selain  dapat meningkatkan serapan dan simpanan karbon juga menghadirkan iklim  mikro (suku) yang optimal bagi kopi untuk berbuah. Pada akhirnya akan  meningkatkan pendapatan petani, karena kopinya semakin produktif  dibandingkan yang diusahakan saat ini, juga petani mendapat sumber  tambahan penghasilan dari berbagai jenis pohon pelindung penghasil buah  komersial seperti alpukad, jeruk dan nangka.
Tentunya dengan berbagai perbaikan budidaya  kopi, baik berupa aktivitas adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim,  produktivitas kopi akan tetap terjaga. Apabila itu dilakukan, tentu  generasi yang dapat menikmati kelezatan kopi akan semakin panjang. 
Minggu, 29 April 2012
Enema Kopi Memang Merugikan Kesehatan ??
Berita burung dan gosip mengenai dampak  sampingan enema kopi sudah mulai terlihat di Indonesia. Berita terakhir  mengenai ini dimuat pada detikcom dengan judul Enema Kopi berbahaya.  Saya ndak membaca secara langsung, namun lebih dari 5 copy beritanya  dikirimkan oleh teman2 kepada saya dan minta tanggapannya. Lho…. Kenapa  saya? Emangnya saya dukunnya enema kopi…… hehehe. Tapi biarin deh… 
Untuk yang belum pernah bergaul dengan terapi  enema kopi, cara ini adalah salah satu cara detoxifikasi darah [detox  liver] dari racun yang masuk kedalam darah [umumnya dari bahan makanan].  Detoxifikasi liver ini akan membantu penyembuhan orang2 yang menderita  darah tinggi, cholesterol, diabetes dan beberapa penyakit menahun  lainnya. Ini jelas termasuk pengobatan alternatif. Cara ini dipopulerkan  oleh Dr.Max Gerson dan merupakan salah satu bahagian terapi dari Gerson  Therapy yang juga sering disebut Juice Therapy. Istilah enema sendiri  sudah merupakan istilah lama. Sudah dilakukan ribuan tahun lalu dan  teknik ini terrekam dengan baik dalam artefak kuno. Ibu2 dulu [yang  sekarang sudah oma oma] selalu menggunakan cara enema dengan air [atau  air sabun] untuk menolong anak2 yang mendapat kesulitan untuk BAB atau  sembelit. Dalam konteks ini, enema digunakan sebagai cara pembersihan  usus besar atau colon bahagian bawah. Dalam 3 tahun terakhir dengan  populernya 2 buah buku mengenai enzyme dari Dr.Hiromi Shiniya, enema  kopi mendapat pujian dan rekomendasi yang tinggi dari Dr Hiromi sebagai  cara yang paling effektif untuk membersihkan usus. Jadi cara yang  dipopulerkan Dr Gerson untuk detox liver tadi sekarang mendapat tugas  baru oleh Dr Hiromi, untuk membersihkan usus. Pada Gerson Therapy,  pembersihan usus tadi dianggap sebagai bonus saja, namun kalau usus  menjadi naik pangkat, ya ndak apa2 juga lah.
Mengapa cara ini ternyata tidak sepopuler  yang semestinya? Ini berangkat dari cara enema kopi itu sendiri. Cairan  kopi dimasukkan kedalam usus bawah melalui anus, ditahan dalam 12-15  menit disana baru dibuang bersama semua isi usus tadi. Yang belum pernah  melakukannya akan sedikit meringis membaca prosedurnya dan sulit  membayangkannya. Kesannya mungkin sedikit jorok, sedikit ribet, sedikit  “gimana gitu..”, dan karena perasaan yang sedikit gelo ditambah sedikit  sangsi, ahirnya jadi banyak dan enggan untuk mencoba. Untuk yang pernah  mencoba atau malah yang rutin setiap hari, mereka senyum senyum saja dan  ada rasa geli dan dongkol mendengar komentar orang mengenai enema kopi.  Bagi yang menggunakannya sebagai salah satu bahagian dari therapy  pengobatan kanker, dimana dia perlu melakukan enema kopi 5 kali sehari  selama lebih setahun, maka mereka melakukannya sudah sebagai ritual yang  dinikmati dan disukuri.
Nah, untuk para penghujat enema kopi, umumnya  datang dari kalangan medis. Tidak 100% para dokter, masih ada saja kaum  awam yang memperolok olok cara enema kopi. Kalau kaum awam dinegara  lain biasanya membuat guyonan seperti ini: Kopi nya pake gula nggak?  Perlu cream? Atau coffe late bisa nggak buat enema…. Dan guyonan lain  yang paling2 membuat penggunanya ikut ketawa saja…
Untuk para penghujat dari golongan medis,  komentarnya lebih terlihat “scientific” dan sudah berupa larangan dan  cukup menakutkan. Ambil saja komentar yang dimuat di detikcom tadi: 
1. Anda bisa kecanduan. [kecanduan kopi atau kecanduan atas badan yang lebih sehat…. ?? Kopi tadi praktis tidak diserap oleh usus kedalam badan dalam waktu kurang dari 15 menit. Kecanduan dalam arti addicted yang negatif tidak pernah terjadi]
2. Menggunakan  cairan yang terlalu panas bisa menyebabkan usus terbakar [Haiiya…….  Makan pisang panas juga mulut bisa terbakar dok…. Prosedur enema kopi  yang benar adalah menggunakan cairan kopi yang hangat kuku dengan  temperatur sama dengan badan kita. Jangan nakuti aaahh..]
3. Penggunaan  enema yang berlebihan bisa menyebabkan kematian [wah… gawat nih  gossipnya. Kesimpulannya jangan enema setiap 10 menit sekali… hehehe   ..???]
4. Jika  peralatan tidak steril, bisa infeksi dan menimbulkan kematian [wah…  mati lagi….. Setuju pak, memang logikanya demikian walaupun ini sangat  hiperbolik] 
5. Dapat  merugikan orang yang sensitive terhadap caffeine dan juga wanita hamil  [sekali lagi, caffeine tidak diserap kedalam badan. Ini bukan minum kopi  Mas….]
6. Dapat  mengakibatkan dehidrasi [Ini benar dalam skala yang sangat ringan,  karenanya dalam prosedurnya perlu minum juice buah sekaligus melakukan  detox lanjutan]
7. Enema kopi kadang dapat menimbulkan jantung berdebar debar [terutama kalau sudah ditakut takutin oleh artikel seperti ini]
8. American Cancer Society menuturkan  enema kopi yang terus menerus berpotensi melemahkan fungsi usus besar  yang memicu terjadinya sembeli dan colitis. 
[ Hahaha… Ini baru berita  sebab Dr Hiromi justru memerangi soal sembelit dan radang usus besar itu  dengan cara enema kopi. Apa yang terjadi adalah bahwa American Cancer  Society yang terkenal sarat dengan kolusinya bersama pabrik Farma merasa  dirugikan oleh praktek enema kopi terutama dalam terapi melawan kanker] 
Kesimpulan dari kalangan medis bahwa enema  kopi sangat tidak disarankan. Dan kalau melihat jawaban komentar yang  ada didalam kurung [] diatas, sangat terasa bahwa komentar2 tadi sangat  terlalu dipaksakan. Ini hampir sama saja dengan serangan bertubi tubi  terhadap Vitamin yang dilakukan oleh Pabrik Farma dalam 10 tahun  terakhir ini. Mereka melakukan kampanye negatif bahwa Vitamin dapat  merusak kesehatan manusia, atau paling tidak bahwa bila kebanyakan  Vitamin maka akan merusak kesehatan manusia. Ini sangat absurd dan tidak  bertanggung jawab. Vitamin adalah merupakan substansi yang tidak pernah  merusak tubuh, bahkan sebaliknya. Kelebihan Vitamin dibadan tidak akan  pernah menumpuk didalam badan dan akan dikeluarkan dari tubuh manusia  secara natural.
Pertanyaannya, mengapa serangan dilakukan  terhadap Vitamin? Ini dilakukan karena masyarakat sudah mulai kembali  melirik Vitamin sebagai salah satu jawaban pemeliharaan kesehatan dan  bukan mengonsumsi obat2 farma. Mengapa pabrik Farma tidak ikut saja  memproduksi Vitamin ini bila permintaannya meningkat? Jawabannya adalah  harga jual Vitamin itu murah, bahkan sangat murah dibandingkan dengan  obat2 Farma lainnya. Sama halnya dengan terapi enema kopi, terapi ini  sangat murah, hanya memerlukan kopi seharga kurang dari 3000 rupiah  sekali pakai dan peralatan seharga kurang dari 50 ribu yang dapat  dipakai berkali kali. Vitamin telah merongrong keuntungan pabrik Farma  dan industri kesehatan secara keseluruhan.
Dalam konteks yang serupa, enema kopi yang  murah dan effektif tadi dapat menggantikan berbagai penggunaan obat  Farma didalam merawat kesehatan, bahkan dapat melakukan penyembuhan.  Jelas ini telah merongrong pabrik Farma dan industri Kesehatan beserta  pelaku pelakunya.
Dunia industri kesehatan perlu lebih arif dalam memberi pandangan yang lebih bertanggung jawab untuk hal2 seperti ini.
Mengapa Kopi “Decaf” Lebih Murah dari Kopi Biasa?
Iya kenapa?
Ketika  saya tahu istilah ‘decaf’; yaitu kopi yang kafeinnya telah  ‘dihilangkan’ dari kopi, bisanya menyisakan 1 persen dari jumlah  awalnya; lalu saya tahu harganya rata-rata lebih murah dari kopi biasa (not to generalize all, but mostly), saya menjadi bertanya-tanya kenapa. 
Proses decaffeination  biasanya melibatkan ekstraksi, dimana solven (pelarut) yang spesifik  untuk melarutkan kafein (dan bukan senyawa lainnya) dicampur ke biji  kopi untuk menghilangkan kafeinnya. Proses ini ekstraksi ini harus  dilakukan beberapa kali untuk memastikan bahwa jumlah kafein yang  ‘tertinggal’ di biji kopi memenuhi standar yang diinginkan. 
Dengan  proses tambahan ini, harga kopi decaf seharusnya lebih mahal dari kopi  biasa. Tapi mengapa justru harganya lebih murah? Yang terpikir di kepala  saya hanya satu: psikologi dasar untuk menarik pembeli. 
Saya selalu terkesima dengan bagaimana otak memproses informasi dan efeknya pada persepsi.  Kasus kopi decaf ini juga seperti itu, bagaimana secara psikologis kita  tidak suka membayar sesuatu yang komposisinya dikurangi. Persepsi  seperti itu sudah ada di kepala kita, entah sejak kapan, sesuatu yang  ‘kurang’ seharusnya tidak semahal yang ‘lebih’. 
Oke.  Dalam kasus ini justru kita ‘diuntungkan’ karena membayar ‘kurang’ dari  yang seharusnya (tanda petik untuk indikasi non-absolut, mengingat harga  yang kita dapat itu sudah diperhitungkan sedemikian rupa supaya  menghasilkan profit). 
Contoh  lain adalah diskon. Ah, sudah berapa kali kita terjebak dengan diskon?  Kita diiming-imingi dengan diskon 70%, padahal harga aslinya sudah  dinaikkan sedemikian rupa sehingga harga setelah diskon sebenarnya sama  dengan harga aslinya. Lagi-lagi karena faktor psikologi manusia. Atau  dengan harga sepatu yang semakin lama semakin murah. Dengan harga  ‘bersaing’ (so they say), kita diberikan ‘umpan’ untuk membeli lagi dan lagi. Saya dulu pernah mengatakan pada mantan pacar saya, sepatumu mahal-mahal ya, kalau aku beli bisa dapet sepuluh pasang. Lalu dia mengatakan, iya, tapi sepatumu sendiri sekarang sudah berapa pasang? Hahaha. So true.  Menuliskan harga Rp 9.999 juga akan terlihat lebih menarik dibanding Rp  10.000, lagi-lagi karena psikologi ‘kurang’ dan ‘lebih’. 
Ada  banyak contoh lain mengenai bagaimana mengenali psikologi manusia dan  ‘memanfaatkannya’ untuk beberapa hal, termasuk untuk berteman. Jujur,  saya tidak terlalu suka berada di keramaian atau bertemu orang baru. Dan  banyak mengatakan wajah saya judes, membuat orang menjadi ‘takut’ untuk  berteman atau berbicara dengan saya. Haha. Yang saya lakukan untuk  membuat mereka ‘feel free’ untuk berbicara dengan saya adalah tertawa  lepas. Senyum atau tawa adalah tanda rileks, dan rileks ini menular.  Senyum saja kadang tidak cukup untuk mencairkan suasana, jadi dalam  beberapa kesempatan, saya selalu tertawa terbahak-bahak, tidak peduli  orang lain (di luar pembicaraan) menoleh atau kaget. Hihi. It works. 
Hal  lain yang juga ‘menguntungkan’ adalah ‘slow-motion’ dan ‘mirroring’.  Otak kita melihat segala sesuatu yang dilakukan dalam tempo cepat  sebagai ‘hostile situation’ atau kondisi dimana kita harus siaga. Ketika  kita melakukan sesuatu dengan gerakan yang labih lambat dari biasanya,  itu bisa menumbuhkan kepercayaan atau setidaknya keterbukaan. Misalnya  ketika kita ngobrol di kafe. Ketika berbincang dan sesekali minum kopi,  gerakan menyesap kopi yang lambat dan sedikit lama akan membuat kita  merasa santai. Apalagi bila dilakukan sambil menatap mata lawan bicara.  ‘Mirroring’, saya kira sudah cukup self-explanatory. Kita  membangun ‘ikatan’ dengan  orang yang memiliki kesamaan dengan kita. Di  percakapan ringan, gerakan-gerakan meniru (lawan bicara kita minum, lalu  kita juga; lawan bicara menggunakan ilustrasi ketika berbicara, kita  juga begitu) bisa mengindikasikan kesamaan atau familiarity. 
Boleh dicoba untuk cowok-cowok yang sedang pedekate :D
Maroko Vs. Negeri Seribu Warung Kopi
Minum  attai merupakan tradisi dan kebiasaan sehari-hari yang diturunkan dari  generasi ke generasi dalam kehidupan masyarakat Maroko. Oleh karena itu,  di Maroko banyak terdapat café (makha) yang menyediakan  berbagai macam minuman khas Maroko khususnya attai. Walaupun Negara  Maroko bukanlah Negara penghasil teh serta tidak memiliki kebun teh  namun, Maroko merupakan Negara yang mayoritas penduduknya adalah  pengkonsumsi teh, hebat bukan?? hehe.
Teknik membuat secangkir attai di café (makha)  adalah dengan merebus air dahulu sampai mendidih, kemudian masukan  tehnya dengan terlebih dahulu mengecilkan apinya. Sesekali di aduk  sambil menunggu mendidih. Setelah itu baru siap untuk disajikan. Cara  penyajian attai di Maroko sangat berbeda sekali dengan  Negara-negara lain seperti Indonesia. Di sini, attai yang sudah ada di  dalam ceret tidak langsung dituangkan ke dalam gelas kecuali setelah di  campur dengan daun na’na sehingga memiliki rasa serta aroma yang  berbeda. Yang lebih unik lagi adalah ketika attai yang ada di ceret siap  dituangkan ke dalam gelas, dengan gaya khasnya pelayan café mengangkat  ceret tersebut setinggi mungkin sambil menungkan kedalam gelas, kemudian  air yang ada di dalam gelas tersebut dimasukan lagi kedalam ceret terus  di tuangkan kembali sampai tiga kali. Seru yahh..hehehe.
Jika  anda berada di Maroko dan ingin mencobanya maka tidak usah bingung  mencarinya karena hampir di sepanjang jalan atau gang banyak sekali  café-café yang bertebaran dengan menyediakan beraneka macam minuman khas  Maroko khususnya attai. Kalau saat ini banyak orang yang menyebut Aceh  sebagai Negeri Seribu Warung Kopi karena kebiasaan  minum kopi di Banda Aceh dan sekitarnya sudah mengakar di kalangan  masyarakat sejak masa Kesultanan Aceh. Maka di Marokopun bisa disebut  sebagai Negeri Seribu Warung Attai disamping terkenal dengan sebutan Negeri Seribu Benteng.  Fasilitas yang ada di cafe tak lebih dari meja dan kursi, televisi  satelit, dan akses internet, yang jelas rugi banget kalau sudah berada  di Maroko tapi tidak mencobanya.
kompasiana.com
Ketika Buruh Pemetik Kopi Makin Langka
Karena buruh pemetik kopi makin langka, maka  Inen Upa terpaksa mengerahkan anggota keluarganya bergotong royong  memetik kopi di kebunnya.
Ketika ditanyakan kepada beberapa pemilik kebun kopi itu, mereka mengaku sedang menunggu buruh pemetik kopi selesai memetik kopi di kebun orang lain. Inen Upa (47) salah seorang petani kopi di Paya Tumpi Aceh Tengah, Minggu (25/3) di sela-sela aktifitasnya memetik kopi, menambahkan bahwa dengan panen yang cukup melimpah itu, mereka tidak mampu memetik sendiri. Mereka tetap membutuhkan tenaga buruh pemetik kopi.
Menurut perempuan beranak empat itu, jika dia sendiri yang memetik kopi di kebun yang luasnya satu hektar itu, dikhawatirkan buah kopi yang sudah merah itu terlanjur berguguran. Sebab, untuk memetik buah kopi yang telah merah bernas itu membutuhkan tenaga sekitar dua sampai tiga orang. Dalam minggu terakhir ini, order memetik kopi kopi terus meningkat, maka buruh pemetik kopi makin langka, ada yang lagi kosong tetapi tarif yang mereka minta tidak realistis. Biasanya, ongkos memetik kopi adalah 10% dari hasil petikannya, kini naik menjadi 20%.
Inen Upa sebagai petani yang pas-pasan, merasa belum mampu untuk membayar ongkos petik kopi dengan tarif sebesar itu. Apalagi setelah harga kopi gelondong merah turun drastis sehingga dia khawatir jika hasil panennya tidak mampu menutupi biaya produksi. Akhirnya, dia mengerahkan seluruh anggota keluarganya untuk gotong royong memetik kopi.
Ditempat terpisah, Win Ruhdi Aman Shafa, salah seorang pemerhati kopi dari Takengon, mengungkapkan bahwa sejumlah petani di Kabupaten Bener Meriah terpaksa mendatangkan buruh pemetik kopi dari luar daerah (pesisir Aceh). Buruh pemetik kopi itu ada juga yang didatangkan khusus dari Besitang Sumatera Utara. “Para petani menyiapkan bedeng khusus untuk tempat tinggal buruh pemetik kopi itu,” jelas Aman Shafa.
Buah kopi merah yang siap petik. Jika beberapa hari lagi tidak dipetik, buah kopi arabika ini akan gugur.
Pada saat ini, harga kopi gelondong merah Rp. 90 ribu per kaleng (ukuran 12 kg). Kemampuan rata-rata buruh pemetik kopi sebanyak 5 kaleng per hari. Jika ongkos memetik kopi 10% dari hasil pemetikan per hari, maka buruh pemetik kopi bisa mengantongi uang sebesar Rp. 45 ribu. “Sekarang ongkosnya naik sampai 20% dari hasil pemetikan, maka mereka bisa bawa pulang uang sebesar Rp.90 ribu per hari,” ungkap Win Ruhdi.
Ternyata, para petani kopi arabika gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah mampu memberi lapangan kerja kepada buruh pemetik kopi, baik dari dalam daerah maupun dari luar daerah. Sebenarnya kurang tepat jika dikatakan bahwa para petani tidak bisa memberi lapangan kerja kepada orang lain.
“Buktinya, dengan komoditi kopi para pedagang atau pengusaha cafe bisa membuka lapangan kerja, begitu juga petani menyediakan lapangan kerja bagi buruh pemetik kopi,” ungkap barista di Kantin Batas Kota, Paya Tumpi itu.
kompasiana.com
Kopi Luwak Made in Taiwan
Siapa yang tidak kenal  kopi luwak? Kopi yang mendapat predikat sebagai kopi termahal di dunia  ini terkenal di mancanegara karena aroma dan rasanya yang khas. Di  Taiwan, harga setengah kilo kopi luwak asli Indonesia bisa mencapai TWD  9.000 (IDR 2.700.000). Ada beberapa kafe di Taipei yang menyediakan kopi  luwak, dan harganya sekitar TWD 150 (IDR 45.000) untuk satu cangkir 100  mL. Nggak sanggup beli sering-sering. Hahaha.
Suatu  hari di tahun lalu, seorang teman lokal yang saya kenal hanya karena  sering berpapasan di lorong datang ke lab saya. Dia tahu bahwa saya  penggemar kopi, dan dia datang membawa tumbler (termos kecil),  lalu berkata, “Do you want to try this coffee?”. Saya heran. Dia tidak  biasanya datang ke lab, dan tidak biasanya juga menawarkan saya kopi.  Saya mengambil mug lalu menerima tawarannya. Saat mencium aromanya, lalu  menyesapnya sedikit, saya langsung berkomentar, “You are so rich! You  bought civet coffee?”. Teman saya ini lalu tertawa, “Yes, civet coffee  made in Taiwan. Similar to Indonesian right?”. Heeee. Saya lalu  bertanya, maksudnya apakah ada petani kopi di Taiwan yang memelihara  luwak lalu memproduksi kopi luwak sendiri. Teman saya mengatakan, “Nope,  ITRI did all this. Without the civet.”
(ini penampakannya)
ITRI  (Industrial Technology Research Institute) adalah institut riset di  Taiwan yang berada di bawah Minstry of Economic Affairs. Badan ini  non-profit, dan memang sengaja didirikan untuk membantu perkembangan  industri di Taiwan, termasuk berperan vital dalam mendukung kemajuan  Taiwan di bidang semikonduktor. Begitu teman saya menyebut ITRI dalam  hubungannya dengan kopi maknyus tadi, saya lalu memaksanya bercerita  lebih jauh. 
Ternyata di Taitung (Taiwan bagian selatan timur), ada satu farm  yang memproduksi kopi luwak tanpa luwak. Untuk memproduksi kopi luwak  imitasi ini, peneliti di ITRI harus mencermati dulu apa yang menyebabkan  kopi luwak memiliki cita rasa yang khas. Karena melewati saluran  pencernaan luwak, dari kopi yang dikeluarkan ini, para peneliti di ITRI  mengisolasi beberapa tipe bakteri asam laktat. Bakteri-bakteri ini  kemudian ditumbuhkan secara massal dan digunakan untuk proses fermentasi  biji kopi (yang tumbuh di Taiwan). Hyaaaaa. Keren sekali orang-orang  ini! Kopi hasil fermentasi ini kemudian diolah seperti kopi lain dan  dijual.
Rasanya  tidak jauh berbeda dengan kopi luwak asli. Hanya memang saya merasa  aroma kopi luwak asli lebih kuat. Kopi luwak imitasi ini juga terasa  lebih asam, yang menurut saya wajar karena proses fermentasinya buatan.  Tapi di luar dua faktor itu, saya harus mengakui, mirip dengan kopi  luwak asli! Menurut teman saya, harganya “hanya” sekitar TWD 2.500/500  gram (IDR 750.000), seperempat dari harga kopi luwak asli. 
Salah  seorang teman yang berasa dari Vietnam juga pernah bercerita pada saya  bahwa ada satu merk kopi lokal Vietnam yang sama-sama imitasi kopi  luwak. Belum pernah mencoba sih, jadi tidak bisa berkomentar. 
Anyway, bangga lho kopi luwak terkenal dimana-mana!
kompasiana.com 
Langganan:
Komentar (Atom)