Krisis kopi dunia belum berakhir dan imbasnya menghatui perkopian Indonesia. Sebagian besar produksi kopinya terancam larangan ekspor berdasarkan resolusi ICO 407 yang diberlakukan sejak 1 Oktober 2002. Namun rupanya keberuntungan masih berpihak kepada kita, karena berkat lobi yang dilakukan delegasi Indonesia pada sidang ICO ke-87 bulan September 2002, Indonesia masih diperbolehkan mengekspor kopi Grade IV keatas hingga akhir tahun 2003.
Keberhasilan perbaikan mutu kopi Indonesia tidak hanya memperbaiki citra kopi Indonesia, tetapi juga ikut membantu perbaikan harga kopi di tingkat petani dan harga kopi dunia, sekaligus dapat membangkitkan kembali peran kopi bagi perekonomian Indonesia. Namun sebaliknya jika upaya perbaikan mutu gagal dan resolusi ICO 407 benar-benar diberlakukan maka akan berdampak negatif bagi perkopian nasional.
Ekspor kopi Indonesia akan turun, harga kopi di tingkat petani merosot dan pendapatan petani kopi juga menurun. Dampak yang lebih buruk lagi, Indonesia dikategorikan sebagai negara yang gagal memenuhi kometmen dan akan kehilangan pasar kopi internasional. Jika hal ini sampai terjadi, maka dampaknya sangat luas terutama di sentra-sentra produksi kopi yang menyangkut lapangan kerja, pendapatan petani, perekonomian daerah dan devisa negara.
Tergantung Pasar Ekspor
Hampir 70% produksi kopi Indonesia dipasarkan ke berbagai negara dan hanya sekitar 30% yang digunakan untuk konsumsi domestik. Kondisi ini menggambarkan bahwa kopi Indonesia sangat tergantung pada pasar ekspor. Akhir-akhir ini muncul permasalahan karena lebih dari 65% ekspor kopi Indonesia adalah Grade IV ke atas dan tergolong kopi mutu rendah yang terkena larangan ekspor (Table 1).
Rata-rata Ekspor Kopi Berdasarkan Mutu 1997/98-2000/01
Mutu | Robusta | Arabika | Total | |||
Volume (ton) | Persentase (%) | Volume (ton) | Persentase (%) | Volume (ton) | Persentase (%) | |
Grade I | 8.053 | 2,87 | 25.117 | 71,26 | 33.170 | 10,51 |
Grade II | 6.830 | 2,44 | 3.119 | 8,85 | 9.949 | 3,15 |
Grade III | 59.687 | 21,29 | 5.582 | 15,84 | 65.269 | 20,68 |
Grade IV | 154.569 | 55,12 | 780 | 2,21 | 155.349 | 49,22 |
Grade V | 15.912 | 5,67 | 331 | 0,94 | 16.243 | 5,14 |
Grade VI | 35.354 | 12,61 | 318 | 0,90 | 35.672 | 11,30 |
Jumlah | 280.405 | 100,00 | 35.247 | 100,00 | 315.652 | 100,00 |
Sumber: Kopi Indonesia, Edisi 112/Th X/Januari-Februari 2003.
Pada Tabel tersebut tampak bahwa pada periode 1997/98-2000/01 rata-rata lebih dari 73% produksi kopi robusta bermutu rendah dan akhir-akhir ini mungkin meningkat karena harga kopi robusta sangat rendah. Sementara untuk kopi arabika yang tergolong mutu rendah hanya sekitar 4 %, sehingga secara keseluruhan terdapat sekitar 65% ekspor kopi Indonesia bermutu rendah.
Rendahnya mutu produksi kopi robusta terutama disebabkan oleh pengelolaan kebun, panen dan penanganan pasca panen yang kurang memadai karena hampir seluruhnya kopi robusta diproduksi oleh perkebunan rakyat. Disamping itu, pasar kopi masih menyerap seluruh produk kopi dan belum memberikan insentif harga yang memadai untuk kopi bermutu baik.Budidaya kopi sebenarnya sudah dilakukan oleh petani sejak jaman penjajahan, tetapi pengelolaannya masih tetap tradisional. Kesalahan yang paling fatal yang umum dilakukan petani adalah pada fase pemetikan dan penanganan pasca panen, sehingga menghasilkan kopi mutu rendah.
Di hampir semua sentra produksi kopi, petani memetik buah kopi sebelum usia panen (petik hijau) dengan berbagai alasan seperti desakan kebutuhan hidup dan rawan pencurian. Kemudian saat penanganan pasca panen, penjemuran kopi umumnya dilakukan ditepi jalan atau tempat-tempat yang sanitasinya tidak memadai, sehingga terkontaminasi berbagai kotoran. Disamping itu, penjemuran yang dilakukan tidak dapat mencapai kadar air maksimum yang diizinkan yaitu 12,5%, sehingga biji kopi sering berjamur.
Lebih lanjut, alat pengupas kopi yang digunakan umumnya tidak memenuhi standar, sehingga biji kopi yang dihasilkan banyak yang pecah. Disamping itu, cara dan tempat untuk menyimpan hasil yang tidak memadai menyebabkan meningkatnya kadar kotoran dan kadar air. Akibatnya mutu biji kopi yang dihasilkan petani paling banter grade IV.
Penanganan pasca panen tersebut sulit diperbaiki karena tidak ada insentif harga, kopi bermutu baik dihargai hampir sama dengan kopi bermutu rendah. Petani merasa lebih untung menghasilkan kopi dengan mutu seadanya tanpa harus mengorbankan waktu dan biaya untuk memperbaiki mutu kopi yang mereka hasilkan. Jadi selama ada pasar yang dapat menyerap produksi mutu rendah, maka sulit diharapkan petani memperbaiki mutu kopinya.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa perbaikan mutu kopi membutuhkan kerja keras terutama untuk mensosialisasikannya kepada jutaan petani kopi Indonesia dan tugas ini merupakan taruhan masa depan perkopian Indonesia. Apabila hal ini tidak ditangan secara tepat maka setelah tahun 2003, ekspor kopi Indonesia akan turun drastis dan pasar kopi domestik akan kelebihan penawaran yang pada gilirannya akan menurunkan harga kopi.
Upaya Mengatasi Masalah
Tugas utama yang sedang dihadapi oleh pelaku bisnis kopi Indonesia adalah perbaikan mutu kopi. Selain itu, ada tugas tambahan dari Badan Kopi Dunia (ICO) yang dibahas dalam sidang ICO ke-88 pada akhir Januari 2003 yaitu peningkatan konsumsi kopi domestik negara-negara produsen kopi dunia.Dengan dua tugas utama tersebut maka dapat dikemukakan beberapa butir kegiatan yang seyogyanya dilakukan oleh semua pihak yang terkait dengan masa depan perkopian nasional Indonesia antara lain:
a. Peningkatan lobi; Pemerintah dan Asosiasi Komoditi melakukan lobi kepada semua pihak yang terkait dengan upaya peningkatan mutu, baik antar negara (produsen dan konsumen) maupun pelaku bisnis (pedagang, eksportir dan prosesor). Yang menjadi isu utama dalam lobi adalah tahapan/jangka waktu perbaikan mutu dan pemberian harga yang berbeda nyata antar mutu produk yang dihasilkan.
b. Perluasan Demplot; Pemerintah dan Asosiasi Komoditi diharapkan dapat memberikan bantuan peralatan/demplot/tenaga pembina untuk melakukan perbaikan mutu kopi khususnya di sentra-sentra produksi kopi. Dalam melakukan pembinaan petani, penerapan kaidah-kaidah good agriculture process dan good manufacturing process menjadi prioritas.
c. Standardisasi; Pemerintah dan Asosiasi Komoditi diharapkan dapat memprakarsai harmonisasi standar mutu kopi Indonesia dengan standar mutu kopi dunia.
d. Peningkatan Promosi; Pemerintah dan Asosiasi Komoditi diharapkan terus melanjutkan upaya promosi untuk meningkatkan konsumsi dalam negeri, karena konsumsi kopi nasional tergolong sangat rendah.
e. Program Kerja; Kelompok/Panitia Pengarah Nasional yang telah terbentuk seyogyanya mulai melakukan penyusunan program kerja yang dapat mensinergikan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Asosiasi Komoditi, Tim Pembina Perkopian Daerah, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, serta ICO.
Dengan melakukan berbagai kegiatan tersebut maka kopi Indonesia diharapkan tidak terganjal oleh resolusi ICO 407 dan dapat ta Kunjungan ke-4169,
Sejak: 31 Mei 2004 mpil memperebutkan pasar internasional secara sehat dan berdaya saing kuat. Semoga!
http://www.ipard.com/art_perkebun/0020504wrs.asp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar