Kopi luwak adalah kopi istimewa. Bagi penikmat sejati, kopi luwak memiliki cita rasa tinggi dan jumlahnya yang sangat terbatas.
Cita rasa tinggi dan volume produksi yang kecil itulah “muruah” atau 
kehormatan dari kopi luwak sehingga keberadaannya ada di 
komunitas-komunitas kelas atas.
Jika salah satu dari dua keistimewaannya itu hilang,–kualitas 
berkurang atau bisa diproduksi secara massal–, maka kopi luwak akan 
turun keistimewaannya karena menjadi kopi biasa.
Karena itu Wakil Menteri Pertanian Bayu Krinamurthi mengingatkan agar
 seluruh pemangku kepentingan dalam komunitas ini lebih hati-hati 
memproduksi kopi luwak dalam jumlah yang banyak.
“Nanti menjadi tidak eksotis lagi dan sebagaimana kita ketahui bahwa 
hukum ekonomi berlaku. Jika produksinya banyak, maka harganya akan 
turun,” katanya saat membuka kegiatan “Temu Lapang Kopi 2011″ di Pusat 
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Kaliwining, Kabupaten Jember, 
Jatim, Rabu (15/6).
Ia mengajak semua insan perkopian agar mengembangkan minuman tersebut secara cerdas, yakni volumenya harus dikelola dengan baik.
Bayu mengingatkan agar volume yang sedikit itu memberi nilai lebih 
yang lebih tinggi dibandingkan dengan volume yang banyak. Ia 
mengibaratkan kopi Indonesia itu harus menjadi mobil Mercy, bukan yang 
murahan.
Kalau perlu, dalam satu tahun seorang petani hanya menghasilkan 100 
kg kopi, namun dengan kualitas yang tinggi. Dengan produksi yang 
sedikit, namun nilainya tinggi, maka hal itu akan menyejahterakan petani
 kopi.
Peringatan wakil menteri itu sangat penting diperhatikan mengingat 
ada kecenderungan masyarakat di negeri ini selalu tergiur dengan sesuatu
 ketika ada usaha yang menjanjikan keuntungan besar sehingga kemudian 
mengorbankan kualitas.
Mengetahui harga kopi luwak yang tinggi, tidak sedikit petani kopi 
yang kemudian ikut-ikut memproduksi kopi tersebut tanpa memperhatikan 
kualitasnya. Mereka memelihara luwak, tapi kesehatan satwa tersebut 
kurang diperhatikan.
“Akibatnya produksinya kopi luwaknya tidak bagus dan lama-lama tidak 
ada yang beli. Akhirnya banyak yang tutup usaha kopi luwaknya. Kopi 
luwak yang berkualitas tinggi itu hanya dihasilkan dari luwak yang 
sehat. Itu prinsipnya,” kata Supriatnadinuri, “Managing Director” pada 
usaha Kopi Luwak Malabar, Jabar, itu.
Menurut dia, memelihara luwak untuk kepentingan kopi, pakannya harus 
diperhatikan. Memang, kopi yang dihasilkan juga sedikit, tapi 
kualitasnya dijamin bagus dan martabat kopi itu tetap eksotik,” katanya 
saat menghadiri temu lapang kopi hari kedua di Andungsari, Kecamatan 
Pakem, Bondowoso.
Lelaki yang didaerahnya menjadi motivator bagi petani kopi itu 
mengemukakan bahwa prinsip yang harus dipegang oleh pemilik usaha 
penghasil kopi luwak adalah satwa tersebut memakan buah kopi bukan 
karena lapar, melainkan karena butuh tambahan nutrisi.
“Kalau luwak makan kopi karena lapar, maka kopi yang dihasilkan 
memang berjumlah banyak, tapi kualitasnya pasti tidak bagus. Di tempat 
saya, luwak itu sudah kenyang dan memakan buah kopi karena memang butuh 
untuk tambahan nutrisi,” katanya.
Ia mengemukakan bahwa hal tersebut agar menjadi perhatian para 
penghasil kopi luwak sehingga kopi khas Indonesia tersebut tetap dikenal
 ke berbagai belahan dunia karena kualitasnya yang bagus.
Nuri, lelaki itu biasa dipanggil, mengemukakan bahwa di tempat 
usahanya dipelihara 187 ekor luwak dan sebagian besar merupakan hasil 
pembiakan sendiri, dan bukan ditangkap dari alam. Dari satwa-satwa liar 
itu dihasilkan hanya 60 gram kopi basah per hari.
Hasil itu berbeda dengan yang diungkapkan Yusianto, ahli pascapanen 
dari Puslit Koka Indonesia. Ia menyebutkan bahwa setiap hari satu ekor 
luwak bisa menghasilkan 200-400 gram kopi basah. Luwak bisa diberi makan
 ikan asin dicampur nasi.
Menurut Nuri, pemberian makan ikan asin kurang bagus bagi luwak, 
apalagi jika dicampur dengan nasi. Dirinya juga selalu memberi makan 
luwak-luwaknya dengan ayam kampung. Selain itu juga diberi madu, telor 
ayam kampung serta buah-buahan, seperti pisang, pepayan atau apel.
“Saya selalu memberi makan ayam kampung, karena saya belum pernah 
lihat luwak pergi ke pasar membeli ayam potong,” katanya berseloroh yang
 disambut tawa peserta temu lapang kopi, termasuk Puteri Kopi Indonesia 
2011 Laskary Andaly Metal Bitticaca yan hadir pada acara tersebut.
Bahkan, katanya, untuk pengobatan dan daya tahan tubuh, ia juga 
memberi luwak dengan makanan siput sawah, buah kolangkaling dan pisang 
emas. Pisang emas sangat berguna untuk menjaga agar luwak tidak 
terserang penyakit pembengkakan hati.
“Jadi intinya, kita dalam memelihara luwak itu jangan menganut 
prinsip perkemanusiaan dengan memberi makan luwak seperti manusia, tapi 
kita harus berperikeluwakan dengan memberi makan sesuai makan luwak,” 
katanya kembali disambut tawa peserta.
Sementara Dr Surip Mawardi, pemulia kopi dari Puslit Koka Indonesia 
mengemukakan bahwa apa yang dilakukan oleh Nuri harus menjadi contoh 
bagi petani kopi lainnya, terutama dalam hal kebersihan dan perhatian 
terhadap kesehatan luwak.
“Dengan demikian, tetap menghasilkan kopi luwak berkualitas. Saya 
adalah saksi bagaimana Pak Nuri ini betul-betul menjaga kebersihan dan 
kesehatan luwak karena saya pernah ke kebunnya di Jawa Barat,” katanya.
Badan sertifikasi Untuk kepentingan menjadi kualitas kopi, termasuk 
kopi luwak, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia yang berpusat di 
Jember membantu meningkatkan nilai tawar petani dengan merintis badan 
sertifikasi untuk komoditas perkebunan, khsusunya kopi dan kakao.
“Kopi yang sudah disertifikasi akan mendapatkan pengakuan internasional,” kata Direktur Puslit Koka Indonesia Dr Teguh Wahyudi.
Selama ini, kata dia, lembaga sertifikasi produk, khususnya kopi dan 
kakao ditangani oleh lembaga asing atau badan dalam negeri tapi menjadi 
bagian dari lembaga asing tersebut.
Dengan memiliki badan sertifikasi sendiri, katanya, maka biaya yang 
harus dikeluarkan oleh yang membutuhkan akan lebih murah sehingga daya 
saing, khususnya petani menjadi lebih meningkat di masa-masa mendatang.
“Kalau sebuah produk mengantongi sertifikasi, maka akan memudahkan 
dalam pemasaran,” kata pria yang juga Dirut PT Riset Perkebunan 
Nusantara ini.
Puslit Koka Indonesia sendiri, katanya, sudah memiliki sumber daya 
manusia maupun peralatan yang memadai untuk kepentingan sertifikasi 
produk tersebut. Mengenai item yang akan disertifikasi, hal tersebut 
disesuaikan dengan kebutuhan penyedia suatu produk.
“Misalnya jika sebuah produk membutuhkan label organik, maka tim 
sertifikasi itu akan mengawasi proses produksi itu dari awal hinggal 
akhir. Demikian juga jika membutuhkan lebel mengenai produk yang tidak 
merusak lingkungan,” katanya.
Wakil Menteri Pertanian Bayu Krinamurthi mendukung program Puslit Koka Indonesia mengenai sertifikasi produk  “Ke depan sistem sertifikasi itu semakin diperlukan,” katanya. 
Kepala Divisi Riset Puslit Koka Indonesia Dr Soetanto Abdoellah 
menjelaskan bahwa lembaganya bertugas untuk mendampingi petani kopi atau
 kakao yang membutuhkan sertifikasi.
“Jika semua proses untuk kepentingan sertifikasi itu telah dipenuhi 
oleh petani lewat pendampingan kami, maka bisa mengajukan sertifikasi ke
 CCQC yang juga berada di bawah Puslit Koka Indonesia,” katanya.
CCQC atau “Centre for Certification of Quality Commodity” itu sendiri
 sudah mendapatkan akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional (KAN). 
Sementara Puslit Koka mendapatkan akreditasi Komisi Nasional Akreditasi 
Pranata Penelitian dan Pengembangan (KNAPPP).
http://www.bisnis-jabar.com/index.php/berita/kopi-luwak-indonesia-harus-menjadi-mobil-mercy-bukan-yang-murahan