Rabu, 01 Februari 2012

TI Passing grade!


UGM
471433 Teknik Industri 61.00
ITS
511106 Teknik Industri 60.72
ITB
351083 FTI 64.93
UNDIP
 431235 Teknik Industri 56.69
UI
311182 Teknik Industri 61.40
UNPAD
262142 Agrobisnis 45.49

Baru Sebagian yang Melek Teknologi

 Agrina.com

Pemanfaatan teknologi informasi oleh pelaku agribisnis masih terbilang minim, terutama mereka yang berlokasi di pelosok desa.
Dalam era serba cepat dan canggih seperti sekarang ini, mendapatkan informasi apa pun sejatinya bukan hal sulit. Media cetak, televisi, radio, internet sampai telepon seluler (ponsel) merupakan sarana yang mudah didapat. Meski sebagian pelaku agribisnis sudah memanfaatkannya, tapi sebagian lain mengaku sangat awam. Terutama pelaku yang berdomisili jauh dari kota. Berikut pengalaman mereka dalam memperoleh informasi terkait agribisnis.
H. Endang Nur Ikhwan
Mulut ke Mulut
Sebagai pengusaha ikan mas di Waduk Cirata, Cianjur, Jabar, H. Endang mengaku butuh informasi harga pakan dan benih berkualitas. Selain itu, pemilik 100 kolam jaring apung ini juga sangat menginginkan info teknologi budidaya dan cara mengatasi penyakit ikan. “Tentu saja kami ingin terus berkembang, makanya kami terus belajar dan mencari pengetahuan baru,” ungkapnya.
Untuk itu, H. Endang hanya mengandalkan sumber dari mulut ke mulut. Baik dari sesama pengusaha di Cirata maupun staf Technical Service (TS) perusahan obat atau pakan. “TS biasanya lebih tahu duluan, makanya saya banyak diskusi dengan mereka,“ ucap pria 50 tahun ini.
Ia memang tak memanfaatkan internet atau sarana informasi lain lantaran kebanyakan pengusaha di sana juga melakukan hal sama. Dirinya mengaku tidak terbiasa dan tidak familiar dengan tatacara mengakses internet. “Internet di tempat kami memang ada, tapi kami tak terbiasa. Andai bisa kami pun ingin. Pastinya dengan internet kami akan lebih cepat dan leluasa mendapat informasi,” tegasnya.
Itam Sulaiman
Andalkan Dinas
“Informasi perkembangan agribisnis di daerah kurang terakses, kecuali petani yang sering ikut pameran, tapi ‘kan nggak semua petani punya kesempatan,” keluh Itam Sulaiman, Ketua Gapoktan Galang Balang, Cimanuk, Pandeglang, Banten.
Apalagi saat memasuki musim panen, harga gabah di desanya acap kali menukik tajam karena para petani tidak mengetahui perkembangan harga dan pasar. Gabah terpaksa direlakan dibeli murah para tengkulak. Lantaran buta informasi pula kualitas dan kuantitas panen petani tak terjaga sehingga mereka menanggung risiko pendapatan yang minim.
Itam bertutur, selama ini hanya mengandalkan dinas pertanian setempat dan sesama petani untuk mendapatkan info harga dan pasar. Tapi sayangnya, informasi yang diperolehnya sering datang tidak tepat waktu. “Mungkin sebagian kecil saja yang baca koran atau tabloid. Apalagi menggunakan internet, kami tidak paham caranya,” aku pemilik 1,5 ha sawah ini.
Menurut Itam, yang dibutuhkan dirinya dan petani lain hanyalah sosialisasi penggunaan sarana informasi, termasuk internet. “Ada baiknya pemerintah membantu memfasilitasi akses informasi mengenai harga komoditas dan peluang pasar agar kesejahteraan kami bisa terangkat,” harap penerima penghargaan ketahanan pangan 2009 ini.
Supriatna Dinuri
Punya Staf Khusus
Memantau perkembangan harga begitu penting, tak terkecuali komoditas perkebunan seperti kopi. Karena termasuk komoditas ekspor, harga kopi lokal turut dipengaruhi harga kopi dunia. “Makanya koperasi kami punya staf pemasaran yang selalu memperhatikan perkembangan harga terutama saat memasuki panen raya,“ ucap Supriatna Dinuri, Ketua Kelompok Tani Kopi Rahayu, Kampung Pasir Mulya, Desa Marga Mulya, Pangalengan, Bandung.
Supriatna termasuk sedikit dari petani yang melek teknologi. Selain rajin mengutak-atik internet, kelompoknya juga memiliki situs sendiri. Di dalam situs tersebut, tercantum info seluk-beluk tentang kopi. “Kami dapat saling bertukar pengalaman dan informasi dengan petani di daerah lain. Kalau kita tidak cepat mendapat informasi tersebut kita akan ketinggalan ilmu dan akan tetap dibodohi terus,“ ucap pemilik 3 ha kebun kopi ini.
Menurutnya, dampak positif dari lancarnya akses informasi adalah peningkatan kesejahteraan dan penyerapan tenaga kerja. Dulu, lanjut pria setengah baya ini, penduduk Marga Mulya adalah kaum urban. “Tapi sekarang tak ada lagi yang mencari kerja ke kota. Semua membudiadayakan kopi karena selain menguntungkan, semua informasi tentang kopi mudah kita dapatkan,” beber Supriatna yang juga menerima penghargaan ketahanan pangan 2009.
Ricky Bangsaratoe
Koran, Majalah, dan Internet
Menurut Ricky, pengusaha ayam petelur seperti dirinya wajib mengetahui beberapa informasi penting jika ingin usahanya sukes. Info tersebut antara lain, prediksi kebutuhan bahan baku pakan, prediksi harga, pasar dan data penetasan. “Misalnya pakan, jika terjadi defisit stok, maka pelaku bisa ancang-ancang untuk impor,” ungkapnya.
Selain itu info tersebut juga sebagai wahana pengawasan antarpelaku industri peternakan untuk dapat menjaga kestabilan harga. Sebab, jika harga tak dipantau bisa mengakibatkan kerugian. “Setidaknya mencari dan saling berbagi informasi akan meminimalkan kita dari kegagalan usaha,” bebernya.
Untuk memperoleh info-info tersebut, Ricky mengaku rajin membaca koran, majalah, internet, dan bertukar info dengan sesama pengusaha. “Peternak di Indonesia jangan sampai ketinggalan teknologi canggih, dan jangan dibohongi terus oleh tengkulak atau pengumpul,” sarannya.
Hartono
Tak Hanya Lokal
Hartono, Ketua Umum Pinsar menyarankan peternak untuk tak hanya mengakses informasi lokal tapi juga berita global. Selain menambah wawasan, hal tersebut membantu pelaku menambah jejaring bisnis. “Untuk memperkaya pengetahuan, saya terbiasa membuka wikipedia di internet, website universitas terkemuka yang mempunyai unit kerja pertanian seperti Cornell University atau juga web lembaga pemerintah,“ ungkapnya.
Lebih jauh memaparkan, ia berpandangan, kini memperoleh informasi di era serba canggih sangatlah mudah dan murah. Info semacam manajemen kandang, pasar, cara peningkatan mutu produk, dan pasar dapat diperoleh secara cuma-cuma di internet. “Sebenarnya penerapan informasi akan mudah diaplikasikan jika sarana dan prasarana dibantu oleh pemerintah,” ucapnya.
Satriyo Saptorohadi
Anggota Blogger
“Sangat mudah mendapatkan informasi. Saya sering menulis di blog. Jika menyangkut harga saya cek ke farm lain, atau tanya ke TS, kalau cuaca saya lihat di televisi,” ucap  Satriyo Saptorohadi, peternak ayam pedaging dan petelur di Bogor.
Menulis di blog, selain hobi, menurutnya, merupakan sarana diskusi antarpelaku usaha yang paling mudah. Dari kebiasaannya tersebut, Satriyo dengan cepat mendapat info populasi ayam dari berbagai daerah, sentra penjual bibit ayam (DOC), perkiraan penjualan, dan data penetasan ayam.
Penerapan teknologi informasi bagi para petani dan peternak, menurut Satriyo, mesti dilakukan secepatnya. Ia mengingatkan pemerintah agar gencar mensosialisasikan dan menfasilitasi cara akses informasi bagi petani. Bagi pelaku usaha yang sudah memanfaatkan teknologi informasi, ia menghimbau agar menularkannya ke pelaku lain. ”Harus ada terobosan untuk membantu petani, tergantung kita mau memprakarsainya atau tidak,” ujarnya.

Kopi Luwak Produksi Masih Terbatas

Kopi Indonesia sudah dikenal di mancanegara seperti kopi Java, Mandailing, Toraja, dan Bali. Kini yang juga ramai dan menjadi trend di beberapa Negara Eropah seperti di Jerman, Belanda, Swiss, Inggris dan lain sebagianya adalah Kopi Luwak (kopi yang difermentasi dari perut luwak/Paradoxurus hermaphrodirus). Permintaan kopi luwak yang tinggi datang dari beberapa negara, seperti Jerman, Jepang, Amerika Serikat dan Negara Eropa lainnya.
Sementara itu, kemampuan produksi dari beberapa produsen kopi luwak pun sangat terbatas. Kopi Luwak mengalami keterbatasan produksi karena proses fermentasi kopi itu yang harus dilakukan di dalam perut binatang Luwak. Proses produksinya hanya bisa dilakukandengan cara budidaya binatang Luwak.
Akibatnya, Kopi luwak yang memiliki ciri khas tersendiri, baik secara proses dan citarasanya, produksinya terbatas dan naiknya permintaan ekspor kopi luwak sengaja dibatasi oleh produsen.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi penerapan pasca panen kopi luwak Kelompok Tani Kopi Rahayu dan launching Kopi Malabar arabika regular dan arabika luwak di Desa Margahayu Pangalengan Jawa Barat, Kamis (6/10).
Sementara itu, Kelompok Tani Kopi Rahayu Supriatna Dinuri mengatakan, banyak pembeli atau eksportir kopi yang akan membeli kopi di tempatnya bertanya mengenai keaslian kopi yang dijualnya tersebut. “Memang belum ada sertifikasinya tapi kami biasanya mengajak pembeli tersebut untuk melihat langsung prosesnya,” kata Supriatna di sela-sela acara diskusi.
Kopi luwak memang memiliki ciri khas tersendiri, baik secara proses dan citarasanya. Tapi, kopi luwak bukan menjadi produk unggulan bagi kelompok Tani Kopi Rahayu tapi yang utama adalah kopi Arabika. Sebab kopi luwak ini hanya 10% dari total produksi kelompok tani yang mencapai 80 ton per tahun. “Kami belum mampu memproduksi besar-besaran karena keterbatasan dari luwak yang kami miliki,” tambahnya.
Kerjasama Dengan Ahli Kopi
“Kopi luwak ini sangat unik dan memiliki rasa yang fantastis dibandingkan kopi lainnya, dan jenis kopi ini di dunia baru ada di Indonesia sebagai Negara pengahasil kopi luwak satu-satunya,” jelas Ahli Kopi dari PUM Netherlands Senior Expert (NSE), Sipke de Schiffart di sela-sela acara kunjungan ke penagkaran Kopi Luwak di Pangalengan.
Tentunya, tambah Sipke cara-cara yang dilakukan oleh petani di desa Margahayu tersebut sudah sesuai dengan animal walfare (kesejahteraan hewan), sebab luwak di pelihara di tempat yang disesuaikan dengan habitat aslinya, dan dipelihara seperti binatang peliharaan yang berproduksi seperti ayam yang menghasilkan telur.Kebersihan kandang, makanan juga menjadi perhatian yang tidak boleh ditinggalkan dan sesuai dengan kebiasaan luwak tersebut.
Untuk itu, Sipke tetap memberikan arahan agar kopi luwak ini bisa dikembangkan dan tetap berpatokan pada animal walfare. Memahami jika terjadi pertentangan masalah animal walfare ini, pihaknya dan PUM akan memfasilitasi kelompok tani ini untuk mendapatkan sertifikasi agar tetap bisa memproduksi kopi luwak untuk dipasarkan ke Eropah.
Kerjasama ini, tambah Sipke, dilakukan tidak hanya sebatas peningkatan kualitas saja tapi juga produksinya dan pascapanen hingga packaging sehingga kelompok tani ini bisa memiliki nilai tambah dari produksi kopi tersebut. Selain itu, kopi dari kaki gunung Malabar ini lebih dikenal di dunia.
Sementara itu, menurut Supriatna, PUM NSE telah banyak memberikan masukan kepada kelompok tani bagaimana menghasilkan kualitas kopi yang terbaik dan bisa masuk ke pasar internasional. Hasilnya, sangat signifikan terhadap produksi kopi di sini, sebelumnya kelompok tani hanya bisa menghasilkan sekitar 58 ton arabika dalam setahun, kini sudah bisa 80 ton setahun dan mutunya semakin meningkat. “Kalau dulu gradenya mungkin hanya 2 dan 3 sekarang sudah grade 1, dulu dijual dalam bentuk biji kini kami memiliki pengolahannya,”katanya.
Supriatna berharap kerjasama dengan PUM Netherlands Senior Expert (NSE) bisa berkembang lebih luas dan memberikan dampak positif bagi petani.

Kelompok Tani Kopi Rahayu, Gandeng Ahli Kopi Belanda

Pangalengan tercatat dalam sejarah sebagai penghasil teh, kina, dan kopi. Bahkan ekspor kopi dari daerah ini sempat memenuhi permintaan kopi dunia dengan sebutan kopi arabica dari Malabar.
Keunikan kopi Malabar ini karena ditanam pada lahan berketinggian 1.400-1800 m di atas permukaan laut tepatnya di kaki Gunung Malabar. Bibitnya klon S 795 dari India yang cocok dengan karakteristik Pangalengan. Lahan budidaya tersebut sangat subur sehingga cukup menggunakan pupuk organik,  tanaman tumbuh subur hingga 12 tahun lebih.
Harga kopi hasil panen dari kebun itu mengacu pada harga internasional karena memang bahan minuman ini menjadi komoditas primadona ekspor. Karena itu kualitasnya pun harus terbaik agar bisa merambah ke pasar internasional.
Raih Pasar Lebih Luas
“Kami sangat bersemangat untuk mengembalikan kejayaan kopi dari Malabar yang dikenal sebagai java coffee di pasar luar negeri,” ucap Supriatna Dinuri, Ketua Kelompok Tani Kopi Rahayu (KTKR) antusias di sela diskusi tentang Penerapan Pascapanen Kopi Arabika, Kopi Luwak, dan launching Kopi Malabar Arabika Regular dan Malabar Arabika Luwak di Desa Margahayu, Kec. Pangalengan, Kab. Bandung,  Jabar (6/9).
Dinuri bersama anggota yang berjumlah 67 petani pun mencoba belajar mengembangkan dan mengemasnya sendiri. “Kami ingin petani memiliki posisi tawar dan tidak hanya menjual ke eksportir,” katanya. Ia lalu menjalin kerjasama dengan berbagai lembaga terkait seperti Perhutani untuk penanaman kopi pada lahan hutan yang rusak, Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP), Kementerian Pertanian, serta PUM Netherlands Senior Expert (NSE).
Kerjasama itu, menurut Sipke de Schiffart, ahli kopi dari PUM Netherlands Senior Expert (NSE), tidak sebatas peningkatan kualitas produksi, tetapi juga cara menghasilkan kualitas kopi terbaik untuk masuk ke pasar internasional, pascapanen hingga pengemasan. “Setiap pembeli di luar negeri menghendaki spesifikasi produk berbeda, maka dengan terus meningkatkan kualitas produk, maka kopi dari Malabar bisa dikenal secara internasional,” Schiffart menjawab AGRINA.
Supriatna menambahkan, luasan kebun kopi milik kelompoknya mencapai 338 ha dengan populasi 2.500 batang per ha. Sebanyak 103 ha di antaranya produktif menghasilkan 120 ton per biji siap jual per tahun atau per musim. Kini mereka menerapkan sistem pengolahan sehingga kualitas produk meningkat.. “Kerjasama dengan PUM Netherlands Senior Expert (NSE) bisa berkembang lebih luas dan memberikan dampak positif bagi petani,” terang Dinuri.
Tidak mengherankan bila pada kontes Kopi Nusantara IV 2009 yang diikuti 20 kelompok tani andalan se-Indonesia, kopi dari KTKR meraih peringkat ketiga kopi favorit terbaik untuk citarasa kopi arabika. Karena itu pada 15 Juni 2010, KTKR mendirikan perusahaan dengan nama PT NuGa Ramitra. Lantaran ingin bisa bersaing di pasar yang lebih luas dan memiliki merek dagang sendiri,  mereka mendaftarkan hak paten Kopi Malabar Arabica dan Kopi Luwak Malabar.
Harus Sesuai Kebiasaan dan Habitat Luwak
Kopi luwak memang memiliki ciri khas tersendiri, baik secara proses dan citarasanya. Pun harganya paling mahal, lebih dari Rp1 juta per kg. Kendati demikian kopi luwak bukan menjadi produk unggulan bagi KTKPR. Mereka lebih mengandalkan kopi arabika. Kopi luwak ini hanya mencakup 10 persen dari total produksi kelompok tani.
Kini beberapa LSM luar negeri mulai mempermasalahkan kopi luwak dalam perdagangan internasional. Menurut mereka, kopi ini diproduksi dengan mengeksploitasi luwak di alam. Alasan lainnya, menyalahi ketentuan kesejahteraan hewan (animal welfare), populasi luwak sudah langka, dan binatang ini masuk dalam Convention on Internasional Trade in Endangered Species of wild fauna and flora (CITES) appendix III. Artinya, status luwak dilindungi di daerah asalnya dan kawasan tempatnya hidup. Jika diperdagangkan harus berasal dari tangkaran sehingga tidak boleh lagi menggunakan tangkapan liar. Untuk itu petani tetap bisa memproduksi kopi luwak dengan memanfaatkan luwak hasil ternak.
Menanggapi isu itu, Schiffart berpendapat, budidaya yang dilakukan petani sudah sesuai kaidah kesejahteraan hewan sebab luwak dipelihara di tempat sesuai habitat alaminya. Karean itu ia dan PUM akan memfasilitasi kelompok tani untuk mendapatkan sertifikasi agar tetap bisa memproduksi kopi luwak untuk dipasarkan ke Eropa.
Lebih jauh tentang cara menghasilkan kopi luwak berkualitas tinggi Dinuri menjelaskan, petani memelihara luwak yang sehat. Pada prinsipnya, luwak peliharaan ini memakan biji kopi bukan karena lapar tapi lantaran membutuhkan nutrisi dari buah kopi. “Jika lapar biji kopi yang dimakan banyak, tapi kualitasnya kurang bagus. Berbeda jika luwak tersebut makan buah kopi karena sudah kenyang dan butuh tambahan nutrisi bagi tubuhnya, “ jelasnya.
Sekarang ini, Dinuri sendiri memelihara 187 ekor luwak secara baik dengan mengutamakan faktor perkawinan, pakan, tatalaksana pemeliharaan, dan pengendalian penyakitnya. Setiap pagi luwak mendapatkan jatah pakan sesuai yang di habitat alaminya, yaitu buah-buahan seperti pisang, pepaya, apel, juga belut serta ayam. Sedangkan buah kopi yang sudah tua disajikan dua kali sehari, pukul enam padi dan tujuh malam. Si luwak tidak akan mehalap semua buah kopi yang disediakan dalam wadah, tetapi memilih beberapa saja.
Hasil konsumsi kopi oleh pada pagi hari dapat dipanen siang hari. Sedangkan yang dikonsumsi malam hari, dikumpulkan petani esok pagi berikutnya. Biji kopi yang terbalut kotoran luwak ini dibersihkan dua kali. Lalu, biji kopi dihilangkan kulit arinya dengan mesin. Biji kopi kemudian dikeringkan dan diolah menjadi kopi bubuk.


Agrina.com